Senin, 25 Februari 2013

MEMULIHKAN HARGA DIRI



Hal yang berkenaan dengan syahwat disebut sebagai sunah Rasul bagi sebagian orang, yaitu sesuatu yang tidak harus dilakukan, namun akan memberikan berkah kepada mereka yang bersedia melakukannya dengan sukarela, ikhlas, dan tentu saja,sah. Making Love, kata orang-orang England, memang merupakan sesuatu yang indah, namun keindahan itu bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Ketika hak asasi nan privasi itu kemudian dieksplorasi demi keuntungan finansial, maka terhenyaklah para kawula. Kaum kita yang lugu membuka pintu selebar-lebarnya hingga riuh rendah informasi menjejali isi kepala. Di suatu titik otak tiba-tiba berhenti berjalan lantaran kelebihan muatan. Dalam kondisi kehilangan akal secara mendadak, mereka mengira akan dapat mengurangi beban pikiran tersebut dengan mengeluarkan hasrat secara membabi buta kepada siapa saja. 

Baru-baru ini Kepolisian Republik Indonesia telah merilis data terbaru jumlah kasus perkosaan pada rahun 2012 mencapai 267.181 kasus, mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 274.180 kasus ( Liputan6.com 10/2 ), dan telah mencapai 25 kasus sepanjang Januari 2013. Perilaku semacam ini yang merupakan gejala awal dari sindroma gegar budaya, umumnya dialami masyarakat di Negara berkembang, telah mengakibatkan sejumlah efek samping yang maha dahsyat. Di samping timbulnya peningkatan signifikan dalam jumlah pernikahan usia dini yang dicatatkan di masing-masing wilayah, sengketa akibat pernikahan siri juga mengalami peningkatan, berikut perceraian dan pula perkosaan terhadap korban berusia dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Eksploitasi berita kasus perkosaan beberapa waktu lalu layaknya sebuah pernyataan yang mengamini sisi gelap manusia, sebuah pengakuan banal terhadap ketidakmampuan manusia untuk mengalahkan iblis yang bersemayam di dalam batinnya sendiri. 
 
Sumpah serapah dan hukuman yang jauh lebih keji, sebagaimana pernah dikatakan penulis Arswendo Atmowiloto, akan didapatkan para pelaku perkosaan ketika mereka menjalani hukuman di dalam penjara, tempat dimana mereka hidup bersama dengan kawan-kawan sesama narapidana. Jeruji besi adalah hotel prodeo, tempat dimana harga manusia dilucuti menjadi sekelas budak, tiada lagi hak untuk berkumpul bersama keluarga maupun orang yang dicintai. Meski demikian, ingatan akan keluarga masih membekas begitu dalam di dalam jiwa orang-orang buangan itu, di saat mereka mengganjar tanpa ampun para perkosaan yang dianggap telah mencabik-cabik kekasih tercintanya sendiri.
                 
Kegagalan Sistem
Kita boleh menepuk dada sebagai Negara dengan wilayah Kepulauan terluas di dunia yang kaya akan berbagai macam adat istiadat dan norma budaya, dikenal sebagai bangsa yang santun dan menjunjung tinggi norma-norma kesopanan, sekaligus merupakan Negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia – yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi seluruh penganutnya. Dengan segala kelebihan dan predikat yang indah-indah itu, tak berlebihan kiranya jika sebuah tanggung jawab besar dibebankan ke pundak kita, yaitu harapan akan terciptanya generasi dengan pribadi-pribadi yang menyejukkan serta membawa kedamaian bagi lingkungan sekitarnya.

Namun, krisis ekonomi dan ketakberpunyaan materi telah mencampakkan kita begitu dalam, dan sejak saat itu kita tidak lagi berpikir keras tentang arti ketentraman, selain daripada ketercukupan dalam hal finansial. Kedua orang tua bekerja keras membanting tulang demi mencukupi kebutuhan dapur dan menggantikan waktu serta kasih sayang mereka kepada anak-anak dengan sejumlah uang saku, kendaraan pribadi, gadget keluaran terbaru, dan sekolah berkualitas nomer satu.  Maka tidak heran jika hari-hari kita belakangan ini penuh sesak oleh para orang dewasa berjiwa kanak-kanak, yang tiada memiliki kepekaan rasa terhadap sesamanya. Orang-orang semacam ini boleh jadi menjadi suksesor dalam bidangnya masing-masing, namun sebaliknya membawa malapetaka manakala berupaya memaksakan kehendak duniawi kepada pihak kedua yang belum tentu memahami.

Ketika seorang manusia dewasa menjelma menjadi monster yang siap memangsa tanpa pandang bulu, pertanyaan pertama yang muncul adalah : siapa orang tuanya ? Dalam keluarga macam apa dia dibesarkan ? Sedemikian burukkah orang tua yang mengasuhnya, sehingga dia tidak mengerti batas antara benar dan salah ? Ya, benar. Mereka telah didewasakan oleh keluarga yang gagal. Lantas dimanakah tangan Negara yang seharusnya tidak hanya bertugas menyejahterakan rakyat dalam hal materi, namun juga menjamin keselamatan dan keamanan secara rohani dengan mewaspadai terjangkitnya anak-anak dari penyakit sosial serta perilaku menyimpang sedini mungkin ? Gagalkah Negara karena membiarkan ekonomi biaya tinggi menggelinding dengan bebasnya, memaksa para ibu meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan demi sesuap nasi, serta menyerahkan tanggung jawab pembentukan moral kepada pihak ketiga ?

 Bangkit dari Kubur
Para korban perkosaan dahulunya adalah manusia-manusia normal, namun sesuatu dalam dirinya direnggut dan dikubur dalam-dalam tepat pada saat dirinya mengalami musibah itu. Sedemikian hebatnya pelaknatan terhadap para perkosaan, yang musti menerima konsekuensi logis sebagai buah dari perbuatannya, tidak akan pernah dapat mengembalikan keadaan semula. Bukan, bukan keperawanan dan atau keperjakaan ( dalam beberapa kasus sodomi terhadap anak-anak lelaki ). Melainkan ‘perasaan yang sudah tidak memiliki harga dan diobralpun tidak laku’ yang akan dibawa serta para korban seumur hidupnya. 
  
Luka psikis yang ditimbulkan oleh tindak pidana perkosaan bisa menjadi teramat dalam, dan akan membutuhkan waktu hingga puluhan tahun, bahkan seumur hidup, bagi seorang korban perkosaan untuk dapat menerima kenyataan pahit yang dihadiahkan kehidupan kepadanya. Hilangnya harga diri dan menganggap rendah terhadap keberadaan diri sendiri adalah beberapa diantara dampak psikologis yang dialami para korban perkosaan. Gejala ini dapat menjadi pemicu bagi sejumlah tindakan lanjutan akibat depresi seperti meningkatnya rasa rendah diri, pesimis terhadap masa depan, pemutusan segala bentuk komunikasi dan interaksi dengan pihak luar, hilangnya kepercayaan terhadap lawan jenis, percobaan bunuh diri dan menjerumuskan diri ke lembah prostitusi.

Hal inilah yang sebenarnya perlu mendapatkan perhatian dalam porsi yang lebih besar dibandingkan perdebatan mengenai siapakah pemicu terjadinya perkosaan, pelaku dan nafsunya yang tidak terdidik, ataukah korban yang secara tidak disengaja telah membangkitkan keinginan liar para pelaku terhadap dirinya, dimana kemungkinan ini mendapat kecaman keras dari masyarakat sebagai bentuk patriarkisme sistem terhadap para korban perkosaan. Paling tidak, Negara mampu menyediakan layanan konseling paska kejadian dengan biaya rendah maupun tanpa biaya, terutama bagi korban yang berasal dari kalangan kurang mampu. Selain konseling juga perlu adanya pemantauan perilaku terhadap para korban perkosaan hingga kurun waktu tertentu, untuk memastikan bahwa mereka telah stabil secara psikis dan siap melanjutkan hidup kembali. Peran dan kepedulian Negara terhadap para korban sangat penting sebagai langkah awal untuk menumbuhkan kembali harga diri yang telah terkoyak, sehingga para korban mampu mengemudikan kembali kendaraan pada jalurnya semula.(swastantika)

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...