Selasa, 26 Februari 2013
Senin, 25 Februari 2013
MEMULIHKAN HARGA DIRI
Hal yang berkenaan dengan
syahwat disebut sebagai sunah Rasul bagi sebagian orang, yaitu sesuatu yang
tidak harus dilakukan, namun akan memberikan berkah kepada mereka yang bersedia
melakukannya dengan sukarela, ikhlas, dan tentu saja,sah. Making Love, kata
orang-orang England, memang merupakan sesuatu yang indah, namun keindahan itu
bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh kedua belah pihak yang terlibat di
dalamnya. Ketika hak asasi nan privasi itu kemudian dieksplorasi demi keuntungan
finansial, maka terhenyaklah para kawula. Kaum kita yang lugu membuka pintu
selebar-lebarnya hingga riuh rendah informasi menjejali isi kepala. Di suatu
titik otak tiba-tiba berhenti berjalan lantaran kelebihan muatan. Dalam kondisi
kehilangan akal secara mendadak, mereka mengira akan dapat mengurangi beban
pikiran tersebut dengan mengeluarkan hasrat secara membabi buta kepada siapa
saja.
Sumpah serapah dan hukuman yang jauh lebih keji,
sebagaimana pernah dikatakan penulis Arswendo Atmowiloto, akan didapatkan para
pelaku perkosaan ketika mereka menjalani hukuman di dalam penjara, tempat dimana
mereka hidup bersama dengan kawan-kawan sesama narapidana. Jeruji besi adalah hotel
prodeo, tempat dimana harga manusia dilucuti menjadi sekelas budak, tiada lagi
hak untuk berkumpul bersama keluarga maupun orang yang dicintai. Meski
demikian, ingatan akan keluarga masih membekas begitu dalam di dalam jiwa
orang-orang buangan itu, di saat mereka mengganjar tanpa ampun para perkosaan
yang dianggap telah mencabik-cabik kekasih tercintanya sendiri.
Kegagalan Sistem
Kita boleh menepuk dada sebagai Negara dengan
wilayah Kepulauan terluas di dunia yang kaya akan berbagai macam adat istiadat
dan norma budaya, dikenal sebagai bangsa yang santun dan menjunjung tinggi
norma-norma kesopanan, sekaligus merupakan Negara dengan jumlah penganut agama
Islam terbesar di dunia – yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi seluruh
penganutnya. Dengan segala kelebihan dan predikat yang indah-indah itu, tak
berlebihan kiranya jika sebuah tanggung jawab besar dibebankan ke pundak kita,
yaitu harapan akan terciptanya generasi dengan pribadi-pribadi yang menyejukkan
serta membawa kedamaian bagi lingkungan sekitarnya.
Namun,
krisis ekonomi dan ketakberpunyaan materi telah mencampakkan kita begitu dalam,
dan sejak saat itu kita tidak lagi berpikir keras tentang arti ketentraman,
selain daripada ketercukupan dalam hal finansial. Kedua orang tua bekerja keras
membanting tulang demi mencukupi kebutuhan dapur dan menggantikan waktu serta
kasih sayang mereka kepada anak-anak dengan sejumlah uang saku, kendaraan
pribadi, gadget keluaran terbaru, dan sekolah berkualitas nomer satu. Maka tidak heran jika hari-hari kita
belakangan ini penuh sesak oleh para orang dewasa berjiwa kanak-kanak, yang
tiada memiliki kepekaan rasa terhadap sesamanya. Orang-orang semacam ini boleh
jadi menjadi suksesor dalam bidangnya masing-masing, namun sebaliknya membawa
malapetaka manakala berupaya memaksakan kehendak duniawi kepada pihak kedua
yang belum tentu memahami.
Ketika
seorang manusia dewasa menjelma menjadi monster yang siap memangsa tanpa
pandang bulu, pertanyaan pertama yang muncul adalah : siapa orang tuanya ?
Dalam keluarga macam apa dia dibesarkan ? Sedemikian burukkah orang tua yang
mengasuhnya, sehingga dia tidak mengerti batas antara benar dan salah ? Ya,
benar. Mereka telah didewasakan oleh keluarga yang gagal. Lantas dimanakah
tangan Negara yang seharusnya tidak hanya bertugas menyejahterakan rakyat dalam
hal materi, namun juga menjamin keselamatan dan keamanan secara rohani dengan
mewaspadai terjangkitnya anak-anak dari penyakit sosial serta perilaku
menyimpang sedini mungkin ? Gagalkah Negara karena membiarkan ekonomi biaya
tinggi menggelinding dengan bebasnya, memaksa para ibu meninggalkan anak-anak
tanpa pengawasan demi sesuap nasi, serta menyerahkan tanggung jawab pembentukan
moral kepada pihak ketiga ?
Bangkit dari Kubur
Para korban perkosaan dahulunya adalah
manusia-manusia normal, namun sesuatu dalam dirinya direnggut dan dikubur
dalam-dalam tepat pada saat dirinya mengalami musibah itu. Sedemikian hebatnya
pelaknatan terhadap para perkosaan, yang musti menerima konsekuensi logis
sebagai buah dari perbuatannya, tidak akan pernah dapat mengembalikan keadaan
semula. Bukan, bukan keperawanan dan atau keperjakaan ( dalam beberapa kasus
sodomi terhadap anak-anak lelaki ). Melainkan ‘perasaan yang sudah tidak
memiliki harga dan diobralpun tidak laku’ yang akan dibawa serta para korban
seumur hidupnya.
Luka
psikis yang ditimbulkan oleh tindak pidana perkosaan bisa menjadi teramat
dalam, dan akan membutuhkan waktu hingga puluhan tahun, bahkan seumur hidup,
bagi seorang korban perkosaan untuk dapat menerima kenyataan pahit yang dihadiahkan
kehidupan kepadanya. Hilangnya harga diri dan menganggap rendah terhadap
keberadaan diri sendiri adalah beberapa diantara dampak psikologis yang dialami
para korban perkosaan. Gejala ini dapat menjadi pemicu bagi sejumlah tindakan
lanjutan akibat depresi seperti meningkatnya rasa rendah diri, pesimis terhadap
masa depan, pemutusan segala bentuk komunikasi dan interaksi dengan pihak luar,
hilangnya kepercayaan terhadap lawan jenis, percobaan bunuh diri dan
menjerumuskan diri ke lembah prostitusi.
Hal inilah yang sebenarnya perlu mendapatkan
perhatian dalam porsi yang lebih besar dibandingkan perdebatan mengenai
siapakah pemicu terjadinya perkosaan, pelaku dan nafsunya yang tidak terdidik,
ataukah korban yang secara tidak disengaja telah membangkitkan keinginan liar
para pelaku terhadap dirinya, dimana kemungkinan ini mendapat kecaman keras
dari masyarakat sebagai bentuk patriarkisme sistem terhadap para korban
perkosaan. Paling tidak, Negara mampu menyediakan layanan konseling paska
kejadian dengan biaya rendah maupun tanpa biaya, terutama bagi korban yang
berasal dari kalangan kurang mampu. Selain konseling juga perlu adanya
pemantauan perilaku terhadap para korban perkosaan hingga kurun waktu tertentu,
untuk memastikan bahwa mereka telah stabil secara psikis dan siap melanjutkan
hidup kembali. Peran dan kepedulian Negara terhadap para korban sangat penting
sebagai langkah awal untuk menumbuhkan kembali harga diri yang telah terkoyak,
sehingga para korban mampu mengemudikan kembali kendaraan pada jalurnya semula.(swastantika)
Langganan:
Postingan (Atom)
Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...
-
Kesulitan ekonomi bukanlah sesuatu yang memalukan, bisa menimpa siapa saja dan di mana saja, mulai dari seorang ibu tunggal di pedesaan samp...
-
Karena satu dan lain hal, kita berutang pada seseorang, sebuah bank, pinjaman online, atau pihak manapun sebagai pemberi pinjaman. Dengan me...
-
Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...