Rabu, 28 Desember 2011

MERETAS HARAPAN

            Akan kemanakah kita sesudah mati ? Ketidaktahuan terhadap tujuan berikutnya itu mengerikan karena kita tak bisa memprediksi dan memperbaiki apapun manakala kita sudah tak lagi bernafas, alias koit. Untungnya ajaran agama dan kepercayaan, baik modern, tradisional, lokal maupun impor masing-masing membawa pencerahan dengan selalu menekankan pentingnya berbuat benar hari ini, sehingga angan-angan kita tidak melayang-layang menuju hal-hal yang belum pasti. Meski demikian, manusia masih saja asyik mengejawantahkan ilusi metafisika mereka dalam bentuk film-film hantu, cerita-cerita seram dan kesaktian klenik. Seakan hendak membudidayakan pencerahan alternatif, bahwa alam sesudah mati adalah kembali lagi berbaur bersama manusia-manusia hidup dalam bentuk makhluk-makhluk yang memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, pandai menghilang dan  bergaya busana kadaluwarsa.
Sesungguhnya ada dua dunia yang berandil mewarnai hari-hari manusia. Salah satunya menjadi alasan kita bertahan dan yang lainnya menjadi sumber kesengsaraan seumur hidup. Dunia mayoritas, dunia minoritas. Dunia publik, dunia privasi. Dunia keramaian, dunia kesendirian. Dunia kompromi, dunia idealis. Dunia materi, dunia empati. Dunia nyata, dunia maya. Dunia fiksi, dunia ilmiah. Dunia janji, dunia bukti. Dunia mimpi, dunia sejati. Dunia benda, dunia rasa.
         Pada dasarnya manusia mengidap dualisme karakter semenjak lahirnya. Berjiwa sosial dan takut dengan ilusi kesepian. Namun setelah nyaman berbaur bersama kelompoknya, mereka cenderung membangun sekat dan peraturan-peraturan yang diharapkan mampu melindungi mereka dari kelompok manusia lain yang berbeda secara fisik, ideology maupun materi. Seiring dengan perkembangan zaman sekat itupun tumbuh tinggi dan terealisasi. Manusia tak lagi membatasi pergaulan atas dasar perbedaan. Karena suatu sebab dan lain hal seorang manusia mengisolasi diri, bahkan dengan mereka yang memiliki kesamaan.


Kepedihan Terdalam
         Apalah arti kata-kata ? Bagi Subcomandante Marcos kata “ adalah senjata.” Senjata bagi siapa ? Bagi yang ingin memenangkan peperangan, tentu saja. Sedangkan si Fulan yang sedang kalah dalam posisi terjepit sedang tidak ingin melawan dan menaklukkan siapapun juga. Maka ia memilih diam. Tanpa kata-kata, tetap ada disana. Imajinasi menjadi satu-satunya pelipur lara. Ekspresi emosi bekerja kreatif di suatu tempat dalam pikirannya. Diputuskan menjadi satu-satunya solusi terbaik sebelum seseorang lain terluka parah dan masuk rumah sakit jiwa. Satu demi satu pembatas diletakkan. Sehingga dalam saat-saat paling menyakitkanpun tempat persembunyiannya adalah cukup dengan menarik fokus dan visi satu langkah ke samping, mengucilkan dunia fana dan masuk ke dalam dunia rekaan sendiri.
         Awalnya adalah sosok jiwa naïf a little bit polos yang sedang mencari petunjuk yang benar dari petuah para pendahulu dan buku sejarah. Dan tak pernah menaruh curiga serta buruk sangka. Selalu percaya dengan sepenuh heart and soul. Manakala mendapati kenyataan tak seindah harapan dan melenceng jauh dari kisah ideal yang pernah digembar-gemborkan, tersentak dan hancur berkeping-kepinglah dia. Ingin protes harus kemana ? Mau mengadu kepada siapa ? Kemurkaan terlanjur menggunung dan menyesaki dada. Sembilu sudah menyayat kecil-kecil nalar, hingga lidah tak bisa lagi berkata. Kecuali diam menunggu di tengah membuncahnya kebimbangan. Berjalan dalam kepedihan, mencari jawaban. Kata-kata yang dimanterai berupa lagu screamo oleh kerongkongan si parau, sketsa di secarik kertas lusuh, goresan graffiti dinding kota, hiasan kulit bernama tato, permainan online dengan episode abadi dan aktivitas lain yang memungkinkan pelakunya meminimalisir interaksi dengan orang lain. Sembari menjahit mulut rapat-rapat demi mencegah tak seorang pun mampu membaca isi hatinya ( kecuali dukun, paranormal beserta segenap rekan sejawatnya tentu saja ).
         Dalam kacamata norma-norma masyarakat waras, dialah orang sakit. Hama wereng pengganggu kesehatan otak. Sebelum menular dan merasuk kemana-mana, ‘ kill them before they grow, ‘ demikianlah instruksi para yang punya kuasa. Kewajaran sikap dan kenormalan perilaku harus ditegakkan, agar tercapai kehidupan sempurna di mata yang melihat. Apa yang bergejolak di sanubari tiada penting. Karena isinya tidak akan bisa dijual, dieksploitasi, menghasilkan uang yang bisa digunakan untuk mengkonstruksi rumah dan harta benda agar lebih layak dikagumi dan dipuja-puji.


Mengawali Awal Yang Lain
         Menyepi dan menjauh dari ingar bingar mainstream rutin, tidaklah mudah bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi bagian dari hedonis nan materialistis itu sendiri. Apalagi jika menyepinya adalah ‘seolah-olah.’ Raga masih menjejak kerumunan kota, lamunan melayang ke hutan belantara. Dan mengandung resiko besar tatkala isi kepala terlalu jauh mengembara, tersesat dan gagal menemukan jalan pulang. Kenyentrikan itu ibarat pisau bermata dua. Sekedar keisengan jiwa kanak-kanak yang terjebak di tubuh orang dewasa, atau totalitas tanpa ampun yang akan mengucilkan kita dari dunia sama sekali.
         Mengapa para orang tua di institusi keluarga, pendidikan dan pemerintahan menetapkan peraturan ? Karena mereka sadar tak akan hidup selamanya. Penyakit, bencana dan kecelakaan bisa sewaktu-waktu menjemput. Sedangkan cita-cita belum lagi ada di genggaman dan anak-anak muda terlalu sibuk bersenang-senang. Dalam paradigma orang tua, menjadi ‘ aneh ‘ adalah menyakiti diri sendiri dan sama sekali tak ada masa depannya. Sesungguhnya guru ‘killer’, mama cerewet dan penguasa semena-mena adalah cerminan ketidakpuasan atas pencapaian prestasi yang diraihnya. Sadar energi tiada lagi cukup untuk membabat hutan, mengawali awal, maka dengan keberuntungan posisi sebagai yang lebih tua dan berkuasa, peraturan-peraturan super ketat dibuat demi menyuruh orang-orang di bawah umur dan kakinya untuk mengerjakan semua hal demi mencapai impian si empunya kuasa.
         Salahkah ? Sejak kapan impian seseorang dianggap salah dan melanggar hukum ? Ya semenjak darah manusia ditumpahkan dengan cuma-cuma atas nama Cita-cita. Tak ada kebakaran tanpa kompor meleduk. Jadi, semestinya Anda-anda  para orang tua bersiap dan tak perlu terbengong-bengong amat mengamati tingkah polah ABG trendi. Salahkah kita meluapkan ekspresi diri sejati ? Bisa berdosa besar tujuh turunan jika tak sekecap katapun mampu Anda berikan sebagai deskripsi dan argumentasi atas jawaban yang Anda pilih, dan menolak mentah-mentah dampak sekejap yang ditimbulkan olehnya.
        
         Kita terpaksa menutup tahun dengan keprihatinan mendalam pada menyeruaknya konflik dan sengketa rakyat dengan aparat di berbagai penjuru negeri. Rakyat dan alat Negara memang adalah sama-sama manusia. Manusia-manusia malang yang tersumbat lubang pengeluaran emosionalnya. Jika rakyat melampiaskan kekecewaan dengan makian dan batu-batu beterbangan, maka kekesalan aparat atas pembangkangan massal adalah senjata dan provokasi.  Di padang demonstrasi mereka bertemu dan para anak bangsa tersayang saling meregang nyawa. Cerita tragis yang tangispun tak berdaya menghentikannya.
         Apakah proses kita melenceng jauh dari peraturan ? Akan tetapi rakyat tetap setia membayar pajak dan aparat loyal mengabdi pada perintah juragan. Kita bukan lagi sebuah keluarga besar yang penuh cinta melangkah bersama meraih tujuan. Atau jangan-jangan, kita adalah pengidap autis berjamaah yang saling sulit mengkomunikasikan tujuan dan harapan versi sendiri-sendiri ? Ibarat satu kaki menuju Roma, sedangkan kaki yang lain menuju Rusia. Jangankan tujuan, sebagai sebuah bangsa besar kita tidak mengawali apapun dengan niat ingsun yang sama. Kami menginginkan kesejahteraan, sedangkan Penguasa mendambakan keamanan posisi. Maka tragedi tak perlu diherani karena itu adalah buah dari ruwetnya visi kebangsaan.
         Cukup sampai disini kita akhiri. Say goodbye lah kepada kekeliruan yang tidak ingin kita ulangi. Tegakan hati untuk bertetapan : inilah kesempatan terakhir, dan alam raya beserta Pembuatnya pun tak memberi maaf untuk kegagalan kesekian kali.
( by : Swastantika )

Rabu, 30 November 2011

PADA ZAMAN DAHULU KALA

 “ Apa sih bedanya masa sekarang dan zaman dahulu ? “ Pertanyaan naïf, jawab Anda. Dulu wajah masih cakep imut-imut. Sekarang mulai mengeriput. Sekitar 10-15 tahun yang lalu jalan raya kota Anda juga masih muda dan ramah. Sekarang terjebak macet adalah mimpi buruk segenap pengendara kendaraan bermotor. Sejuknya udara pagi diiringi suara kicau burung adalah sepele dan remeh temeh semasa kita kanak-kanak. Sekarang baru sadar, betapa mahalnya itu semua. Udara kian pengap dikotori asap pabrik serta knalpot dan burung-burung telah binasa di tangan pemburu liar. Dulu manusia Indonesia kelihatannya sempurna, normal, wajar, sehat dan baik-baik saja. Siapa sangka, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia meningkat seiring dengan semakin lebarnya jurang pemisah kaya dan miskin dan semakin meningkatnya ekonomi biaya tinggi. Pada 2010 lalu, sebanyak 10 sampai 20 pasien per bulannya mendapatkan perawatan di Instalasi Rawat Inap Jiwa Rumah Sakit Umum (RSU) dr Soetomo. Kini, sebanyak 20 sampai 30 pasien yang mendapat perawatan tiap bulannya ( Republika co.id 27/11 ). Seandainya mesin waktu memang pernah ditemukan orang, lebih baik kita pergi ke masa lalu saja. Karena masa kini adalah gila, sedangkan masa lalu oh indahnya.


Masa lalu ibarat spion. Melaluinya kita mengamati jalan sesekali manakala hendak menyeberang jalan atau menepi, agar terhindar dari tumbukan dengan kendaraan lain. Ada sekelompok orang menjadikan masa lalu sebagai pelarian. Mengenang kejayaan lampau sekedar untuk menghibur diri dari realita terkini. Seandainyapun di masa lampau mereka belum pernah jaya, mereka masih bisa menertawakannya lebar-lebar jikalau saat ini kejayaan telah tergenggam. Sementara jika ada yang merasa masa lampau dan masa kini sama saja dan begitu-begitu melulu, mereka pun masih juga bisa tertawa simpul : “ Mungkin sudah ditakdirkan menderita selamanya. Hiks .. “

Pengingkaran
Namun untuk sebagian lainnya juga, masa lalu adalah tragedi. Sangat pahit dan menyayatkan hati. Masa lalu menjadi hal terakhir yang ingin kita ingat sepanjang hayat. Jadi lebih baik untuk dilupakan sama sekali hingga ke akar-akarnya. Melupakan sering dipandang sebagai jalan terbaik pemecahan masalah. Btw, apakah masalah itu pun selesai tanpa masalah ?

Mungkin peristiwa misterius sepanjang 1965-1966 yang ‘ sukses ‘ menewaskan 1-2 juta orang-orang yang diduga adalah anggota dan atau simpatisan PKI tak layak dikenang, karena tak tercatat di buku pelajaran sejarah untuk murid sekolah dasar dan menengah. Apakah serupa halnya dengan peristiwa-peristiwa lain semacam Tanjung Priok, Talangsari, Mei 1998. Bagaimana dengan Munir ? Atau, yang baru-baru ini sajalah, Century ? Kita selama ini mempercayai bahwa Mahapatih Gadjah Mada adalah sosok pemersatu Nusantara yang gagah dan perkasa. Nah bagaimana kalau ternyata sang pahlawan berbodi gemuk dan pendek ? Mengapa pula surat dokumen Negara sekelas Supersemar bisa raib tak tentu rimbanya, sedangkan diantara kita saja ada yang masih menyimpan ijasah tamat Taman Kanak-kanak baik-baik ?
 
Melupakan sebuah peristiwa menyakitkan ibarat mengkonsumsi obat bius pereda rasa sakit sementara. Ketika efek obat habis maka rasa sakit kembali menyerang dan menyiksa. Kita coba lupakan dan lupakan lagi. Kita lupakan segalanya yang membuat kita terkenang kepada kepahitan hidup itu. Kita lupakan sedang berada dimana kaki kita menginjak. Kita lupakan orang-orang di sekeliling kita. Kita lupakan pekerjaan dan tanggung jawab kita. Kita lupakan makan, minum, tidur dan ngupdate status. Kita lupakan orang tua,anak-anak, pacar dan selingkuhan. Bahkan kita lupakan juga siapa diri kita. Akan tetapi rasa sakit itu tak kunjung lelah mengejar sejauh manapun kita berlari. 

Mengapa kita memilih untuk lupa ? Mengapa kita menolak untuk mengingat ? Adakah makanan yang kita santap kurang mengandung vitamin B 12 dan DHA maka daya tangkap otak kita menjadi tumpul ? Atau adakah logika kita kalah dalam adu penalti melawan suasana hati ? Sehingga menurut takluk manakala hati yang luka menyuruh logika berhenti bekerja dan melupakan semuanya. Mengapa bisa sekejam itu hati menyiksa raga tempatnya bernaung ? Sedahsyat itukah akibat yang dihasilkan kepedihan yang begitu dalam, yaitu nyaris membunuh dirinya sendiri ?

Sekali dan Seumur Hidup
Bukan. Sekali lagi bukan karena ogah menjejakkan kaki kepada kenyataan masa kini. Bukan itu alasan saya mengungkit-ungkit luka lama. Meski kadaluwarsa, tetapi masih menganga selebar pertama kali dihujam oleh pisau ketidakadilan. Masih sesakit pertama kali dikoyak oleh peluru nafsu kekuasaan. 

Tak seekor makhluk hidup pun menegakan dan merelakan diri menanggung rasa sakit. Kecuali para pecinta tatoisme, yang punya prinsip bahwa sakit hanyalah sensasi sesaat untuk mencapai kesempurnaan, yang direpresentasikan oleh indahnya motif tato menyatu di kulit tubuh selamanya hingga ajal menjemput. Tapi kapankah kita akhirnya mampu berdamai dengan rasa sakit ? Apa harus menunggu sampai ajal menjemput juga ? Emang enak mati kesakitan ?

Lupa akan rasa sakit sama dengan berjalan mengitari lingkaran iblis. Berkelana mengembara jauh-jauh untuk kembali ke titik yang sama. Mengabadikan jejak langkah Sisifus, mendorong beban kuat-kuat ke suatu tempat hanya untuk melihatnya meluncur bebas menimpa kepala kita kembali. Maka jangan tanyakan kenapa kisah bangsa kita tak pernah romantis. Selalu tragis dan penuh tangis. Selalu dijejali makian kepada nasib yang bengis. Karena kita berhutang terhadap masa lampau ; mengingkari rasa sakit dan tak pernah berusaha untuk menyembuhkannya. 

Sampai kapan betah menyiksa diri dengan seribu satu pengingkaran ? Tak sadarkah bahwa pengingkaran hanya akan menendang cita-cita dan impian menjauh dari gapaian ? Pertumbuhan ekonomi boleh meningkat ( katanya siih ), jumlah orang kaya di Indonesia boleh bertambah. Toh itu semua tak serta merta membikin kita digdaya sebagai Negara. Apakah kesejahteraan sudah merata ? Apakah kedaulatan aka eksistensi kita sudah diperjuangkan sekuat tenaga ke tetes darah penghabisan hingga tak sebuah Negara tetanggapun berani menyepelekan kita ?
 
Mengakui buruk wajah sendiri memang tak semudah kita menghujat kekurangbecusan pemimpin. Akan tetapi bukankah lebih melegakan dan tidak sakit-sakit amat kalau kita yang mengakuinya duluan ? Bukankah kesalahan dan sakit akibat terjerembab dalam lubang adalah konsekuensi dari kecerobohan kaki yang malas menggunakan matanya mengamati medan ?

Jadi, akuilah sejarah agar nasib merdeka dari kutukan Sisifus ini. Agar kesalahan yang sama hanyalah sekali dan seumur hidup tak kan pernah terulang kembali.
           
           

             

          

FINISH 1st

Jumat, 30 September 2011

PENGHIBURAN UNTUK SEMUA

Buanglah mimpi-mimpi iblismu.” ( Dendang Kampungan )

              Pentas dangdut dimanapun masih menjadi idola masyarakat semua lapisan, sekaligus ajang bacokan antar penonton. Apalagi kalau bukan karena alunan musik serta goyangan sang diva melayu yang membangkitkan gejolak darah muda, tanpa bayar pula. Karena keampuhannya mengumpulkan massa, seringkali digunakan sebagai sarana penyampai pesan promosi produk maupun politik. Saya yakin para biduan dangdut akan mendapat lebih banyak order daripada musisi jenis musik lain pada perhelatan kampanye Pemilu 2014 mendatang.
             Selain makan dan minum, orang juga butuh hiburan untuk melepaskan dahaga di jiwa kerontangnya. Penolakan atas keruwetan hidup menjadikan detik, menit, jam dan hari terasa panjang dan melelahkan. Mereka rela memberikan apa saja asalkan bisa merebut secuil waktu untuk melonggarkan ketatnya ikat pinggang dan melepaskan sejenak semua beban. Kapanpun dan dimanapun, asalkan mereka dibebaskan demi meluapkan emosi, ceria, air mata, setengah gila, seluas-luasnya. Sampai-sampai apa yang dilihat di kaca bukan lagi topeng rutinitas keseharian, melainkan diri sejati terlepas dari sangkar emas budi pekerti.
         Tanpa sadar, dahaga itu ternyata membunuh pelan-pelan. Ibarat anggur merah, semakin banyak ditenggak semakin panas kerongkongan. Ia bernama hawa nafsu hedonis. Di genggamannya penderitaan bisa hilang ditelan kenyamanan sesaat. Candu karena sifat ceria yang dihasilkan tak pernah kekal. Ada sejumlah harga yang harus kita keluarkan untuk membeli tiap kali efek ekstase yang dihasilkannya hilang. Itu pun jarang sekali murah. Kita harus keluarkan uang untuk membeli kebahagiaan di lantai diskotik, mall, restoran cepat saji, pil koplo, balapan liar, Sarkem maupun Gang Dolly. Ketika tiada fulus terperosokkah kita ke jurang kriminalitas ? Bisa jadi para koruptor adalah clubbers yang kehabisan uang untuk dugem. Dan untuk menjadi maling jemuran adalah tidak mbois ( keren ) sama sekali.

Harga Ketentraman
Apakah ada diantara pembaca budiman sekalian yang emoh jadi orang kaya ? OMG, Anda menjawab ‘ Ya ‘ ??? Menjadi kaya artinya kita sudah lebih dari sekedar sejahtera. Lebih dari sejahtera dan mustahil kelaparan karena bisa membeli beras serta apa saja. Seandainya kebahagiaan dan kesenangan sahaja sudah mampu terbeli, apakah demikian halnya ketentraman ?
Tengok saja berita-berita perkelahian massal, kerusuhan dan perusakan bangunan belakangan. Itu adalah sebagian kecil efek dari hati yang kurang tentram. Ada sampah-sampah kering yang bertumpuk menyesaki ruang batin. Sampah yang sulit didaur ulang oleh karena terlampau banyak mimpi-mimpi dan waktu tak mampu membusukkannya satu per satu. Sampah-sampah itu terdiri dari kekecewaan, kemarahan dan ketidakpuasan yang tak terucap karena peraturan dan norma-norma membungkamnya rapat-rapat. Gesekan friksi dua pihak, kubu, benda yang sama keras menghasilkan percikan api. Terbakarlah sampah kering oleh bara emosi. Panas hati melumpuhkan akal. Duarrr … !
Sedangkan bumi semakin dipanggang pemanasan global dan bahan pangan makin susah dicari. Atasan semakin uring-uringan dan sang kekasih susah dihubungi. Situasi memang sedang tak bersahabat. Namun kita makan hari ini supaya esok kita masih bisa makan lagi. Selemah itukah sel-sel otak kita menyerah kalah di tangan penjarah logika ? Mentari kota besar memang seperti hendak memecah ubun-ubun, terik tak kepalang. Tapi gedung-gedung tinggi masih punya pendingin dalam ruangan ( AC ). Perut memang kelaparan, tapi tak berarti gelap penglihatan. Terinjak-injak memang pedih nian, namun tak musti kita menghunus pedang.

Engkau adalah Aku “
           Kawula berjiwa muda dan gaya, mungkin menganggap perayaan Lebaran lalu sebagai ‘ biasa-biasa saja ‘ dan tidak spesial. Ajang silaturahmi keluarga besar dan antar tetangga agak sedikit bergeser dari fungsinya sebagai sarana mempererat tali persaudaraan. Anak-anak muda menganggapnya penuh kepalsuan manakala orang-orang tua memanfaatkannya sebagai ruang pamer bebas sewa atas keberhasilan anak-anak mereka, kemapanan jabatan dan pencapaian materi masing-masing.
        Sebagai makhluk yang takut kesepian, manusia membutuhkan sosialisasi. Sebuah aktivitas dimana mereka bisa bekerja dan berbagi apa saja dan dengan siapa saja. Namun itu akan menjadi sia-sia jika komunikasi dipaksakan menjadi jalur satu arah. Menutup pintu bagi mereka di sekitar untuk ikut bicara dan turut merasa. Ya, memang kita kurang sempurna dan banyak kegagalan yang masih enggan kita terima. Akan tetapi itu bukanlah landasan kuat bagi pengesahan ke’ini lho aku’an masing-masing menjadi iblis yang senantiasa berhasil menguasai hawa nafsu kita untuk tak mau menjadi orang mengalah. Ya, memang kita harus didengar. Akan tetapi mereka-mereka disana sini juga ingin didengar. Ya, memang eksistensi ( keberadaan ) kita harus nampak. Akan tetapi maukah mereka-mereka di sekeliling kita itu disamakan dengan hantu karena keberadaan mereka di mata kita adalah ghoib alias tembus pandang alias tidak ada.
      Jalan panjang meraih cita-cita tidak selalu mulus. Dan kita tak bisa selamanya berjalan tanpa membungkukan badan atau menundukkan kepala barang sejenak. Kecuali kita siap terima resiko akan terbentur dahan melintang. Kehidupan bukanlah medan perang abadi. Kecuali kita dengan sengaja memelihara konflik demi keuntungan golongan dan pribadi dan uang. Sang ego memang tinggi dan besar bentuknya. Kita pelihara dia baik-baik, kemudian lihat dan rasakan apakah ketentraman pula akan tumbuh bersamanya ?
         Hari-hari melelahkan dan kita butuh hiburan. Ketentraman hati tidak butuh biaya karena kita mampu dan sangat mampu membuatnya sendiri. Just Do It Yourself, Beib.



Senin, 29 Agustus 2011

JUS(T) TRIPLEKS

PENGUASA SESUNGGUHNYA



Manusia telah dikutuk seumur hidup menderita ketergantungan terhadap uang. Sejak jabang bayi masih merah saja sudah dikenai biaya persalinan ke dunia. Saat dewasa ia kian tak bisa lepas dari yang namanya uang. Mau makan butuh uang. Mau sekolah, senang-senang sampai ngentot ( bercinta ) pun juga butuh uang. ( Jangan ngeres dulu, Gan. Maksud saya disini, meskipun Anda berasal dan punya keluarga baik-baik, kan Anda juga butuh uang buat beli alat kontrasepsi, kecuali Anda sedang berencana punya banyak anak ). Uang memang menunjukkan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan. Jika setumpuk makanan lezat bergizi dinilai dengan sejumlah uang, maka untuk menghemat waktu dan proses ( karena kabarnya masa kini adalah jaman penuh tuntutan untuk serba cepat ), mengapa kita tidak langsung memakan uang itu mentah-mentah sekalian ? ( Kuda Lumping kaleee .. ).
Ah, seandainya uang tumbuh di pohon, mungkin kita tak perlu kerja keras dan tak perlu pula menyamar jadi tikus koruptor untuk bisa kaya. Tinggal tanam pohon, lalu petik daunnya banyak-banyak. Mungkin juga penggundulan hutan tak pernah terjadi, karena semua orang takut kehilangan sumber penghasil uang yang mudah, murah, halal pula.
Masalah keuangan memang klasik, lagu lama bulukan membosankan. Pertanyaannya, mengapa masalah ini musti kita alami berulang kali sepanjang hidup kita ? Apakah karena kita terlalu santai dan kurang memeras peluh saat bekerja ? Ataukah karena makanan yang kita santap kurang bergizi, sehingga tak cukup sanggup memancing otak kita berpikir dan bertindak lebih kreatif mengais kebutuhan hidup ? Apa mungkin mental kita telah letih dan letoy, memilih jalan pintas meminjam uang pada rentenir sebagai solusi masalah keuangan jangka pendek karena proses mudah, cairnya nggak pake lama dan pula berhadiah bunga mencekik ?

Pergeseran “ Keuangan “
          Di masa kejayaan nenek moyang uang berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah proses tukar menukar barang dan jasa, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Bila kita ingin memiliki sebuah barang, kita tinggal menghitung uang di kantong cukup atau tidak untuk membelinya. Kalau uang tidak cukup, ya tidak jadi beli. Abad berganti dan fungsi uang jadi tak sesederhana dulu lagi. Kemutakhiran era tidak hanya menggeser kearifan budaya peninggalan leluhur. Namun juga fungsi uang bagi para pemakainya. Yaitu :
          Pertama, ukuran keberhasilan dan atau kegagalan suatu Negara. Sebuah Negara dapat dikategorikan sukses sentosa bukan berdasarkan luas wilayah, keanekaragaman hayati dan budaya maupun kekayaan alam yang melimpah ruah. Melainkan dari cekatan dan terampilnya perangkat, staf dan aparat Negara mengatur pendistribusian kembali uang Negara kepada rakyat, dalam bentuk pelayanan birokrasi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dll secara adil merata. Karena Negara bukan cuma milik para penguasa. Rakyat pun berhak atas Negara dan berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Seandainya di tengah jalan mereka, penguasa dan karyawan/ karyawatinya, tersandung godaan akibat tipisnya iman dan berdisiplin rendah, lalu mendistribusikan uang Negara tersebut ke rekening pribadinya, maka demikianlah kisah sebuah Negara gagal dimulai.
       Kedua, pemicu meningkatnya angka kriminalitas dan kekerasan jalanan serta rumah tangga. Parade konsumtivisme bersimaharajalela di media massa, taman kota dan kampung-kampung. Kita toh tidak bisa menuntut pertanggungjawaban 100% dari era globalisasi dan dunia cyber. Mengingat keduanya hanyalah corong bagi suatu produk untuk dikenal orang banyak. Kesalahan adalah terletak kepada para produsen barang. Karena mereka tidak melakukan riset mendetil mengenai tingkat kesejahteraan masing-masing orang yang telah dijejali iklan produk mereka. Benarkah semua orang mampu membeli barang tersebut ? Apa mata pencaharian mereka ? Cukupkah penghasilan mereka untuk membeli barang ini, barang itu dan barang-barang lainnya ? Stabilkah emosi atau sehatkah logika mereka ? Apa yang kira-kira akan mereka lakukan manakala tak sanggup memiliki sebuah barang yang sangat menyilaukan nafsu ? Seekor kucing kelaparan mustahil tidak ngiler mencium bau ikan asin. Karena ia tak punya uang untuk membeli, maka dicurilah ikan asin itu dari meja makan Anda.
       Ketiga, bergesernya kebutuhan primer manusia. Dulu manusia masih sangat sedikit, sehingga tiap-tiap orang punya lahan luas untuk ditanami berbagai jenis tanaman bahan pangan. Mereka juga tidak membeli baju, karena tidak ada mall dan ketrampilan menjahit wajib hukumnya bagi kaum perempuan. Mereka mewarisi rumah peninggalan orang tua, atau tinggal bersama keluarga besar. Sedangkan kondisi terkini adalah, orang-orang sibuk bekerja demi segelintir uang untuk membeli sesuap nasi. Begitu kerasnya sehingga mereka lupa makan dan tidak pulang ke rumah. Bukan karena mereka tidak sayang diri sendiri maupun keluarga. Namun karena mereka sadar betapa mahal dan tingginya harga barang kebutuhan primer tersebut. Sehingga uang yang mereka hasilkan dari jerih payah itu tak kan pernah cukup. Jika para pendahulu mengatakan kebutuhan primer manusia adalah pangan, sandang dan papan, maka uang adalah kebutuhan yang maha, mega dan super primer. Tanpa uang amat sangat mustahil ketiga macam kebutuhan penopang hidup manusia itu diperoleh dan tercukupi.

Kemerdekaan Yang Tiada Abadi
      Ini adalah kala mangsa semua dinilai dan dihargai dengan uang. Termasuk hal-hal abstrak semacam simpati, harga diri, martabat, kasih sayang dan kekuasaan. Tidak salah memang. Toh tiada yang abadi selain keabadian itu sendiri, dan semua hal pasti akan berubah. Termasuk etika, nilai-nilai dan norma-norma buatan masyarakat. Jika perubahan dipaksakan atas dasar hukum untung rugi, dengan menganalisa seberapa banyak uang yang bakal didapat, dan bukannya keadilan sosial merata, maka : Selamat ! Anda sudah menjadi hamba uang. Hamba uang ? Ya. Terbukti sahih dan meyakinkan, manusia sebagai makhluk berlogika dan bernurani kalah telak oleh benda mati ( yaitu uang ). Kiranya tak berlebihan jika saya sebut uanglah sang penguasa dunia sesungguhnya. Suatu saat ( atau jangan-jangan sudah ) melengserkan Tuhan.
       Mengapa tidak ? Jika uang adalah penyebab utama lahirnya penjajahan di muka Bumi, maka bisa ditebak siapakah golongan yang paling merdeka. Jika uang bisa membeli segalanya, maka hanya orang-orang kaya sajalah yang bisa menikmati yang namanya kemerdekaan. Jika kemerdekaan finansial adalah sama artinya dengan kemerdekaan yang diperjuangkan Soekarno-Hatta dan rekan-rekan sejawatnya, maka akankah orang-orang yang tidak kaya terjajah selamanya ?
      Sebagian besar pengamat berpendapat, krisis utang yang menyerang sebagian Eropa dan Amerika Serikat belakangan ini adalah akibat kesalahan mereka sendiri. Negara-negara tersebut sangat maju, mapan dan alhamdullillah kaya raya. Apakah perasaan jumawa akibat kekayaan sendiri yang melegalkan kehendak mereka untuk menginvasi, intervensi, mengamankan konflik di Irak, Afghanistan, Mesir dan Libya ? Walahualam. Yang jelas hobi semacam ini tidak murah dan makan banyak biaya. Bank sentral tidak bisa mencetak uang baru terus menerus atau inflasi taruhannya. Karena solusi untuk mengatasi besar pasak daripada tiang adalah selalu dengan berutang, maka menumpuklah utang mereka. Hilanglah kemerdekaan sang Negara superpower kdi tengah lilitan utang. Sama seperti kita, buronan debt collector.

        Orang mencari pencerahan dalam agama, meditasi, seminar motivasi dan kebiasaan lurus lainnya, semata-mata mencari kunci pengendalian diri. Dan bukannya untuk merayu Tuhan agar melimpahkan lebih banyak lagi uang pada kita. Mengapa pengendalian diri ? Karena tidak ada yang bisa memerdekakan diri kita dari kuasa uang, selain kematian. Yang kita bisa lakukan adalah mengendalikan sebaik-baiknya diri agar emosi tetap dingin walau otak panas kepalang. Agar tak mencari pelampiasan kemarahan dengan makan enak-enak, shopping dan kegiatan menghabiskan uang lainnya. Agar bujukan korupsi lari menjauh tak kembali. Agar tetap sabar dan lemah lembut meski dimaki-maki penagih utang. Agar tak lekas lelah bekerja keras dan sekeras mungkin untuk tidak berhutang lagi.








Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...