Tidak sedikit pihak yang menyesalkan "pemulihan" Hagia Sophia, bangunan bersejarah di Turki, dari museum menjadi masjid kembali pada 2020 lalu. UNESCO termasuk salah satu di antaranya.
Sementara itu, sebuah situs berita di Indonesia cenderung menganggap fenomena ini "menarik" karena Presiden Turki Recep Erdogan mengizinkan masyarakat non-Muslim mengunjungi masjid Hagia Sophia karena sang pendiri, Kaisar Konstantin I, memerintahkan pembangunannya pada 360 Masehi sebagai gereja Kristen Ortodoks.
Setelah Kekaisaran Bizantium kalah dalam perang melawan Dinasti Utsmaniyah Turki, Hagia Sophia diubah menjadi masjid di tahun 1453 yang ditandai dengan penambahan empat menara di tiap sudut bangunan ini.
Menurut para sejarawan, ketika
Sultan Mehmed Fatih melangkah masuk ke Hagia Sophia yang saat itu berstatus sebagai gereja, ia merasa seakan-akan sepasang mata bayi Yesus pada mozaik di bangunan itu terus mengikuti langkahnya.
Sebagai upaya mencari jalan tengah untuk kontroversi dalam sejarah bangunan yang namanya bermakna "Kebijaksanaan Suci" dalam Bahasa Yunani, founding father Turki Mustafa Kemal Attaturk, memutuskan mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum sejak 1934.
Presiden Erdogan menganggap keputusan Attaturk tidak tepat karena
melenceng dari sejarah dan telah melakukan perampasan hak milik Dinasti Umayyah.
Sebagai catatan, Konstantin I, inisiator Hagia Sophia, memerintahkan pendirian gereja Hagia Sophia di atas pondasi sebuah
kuil kaum penyembah berhala.
Kapitalisme memicu gegar religius
Artikel
Capitalism and Human Nature dipublikasikan 2005 menyebut, pola pikir manusia pada dasarnya tidak berubah sejak zaman batu
— cenderung mencari yang lebih banyak karena itulah makna hidup baginya.
Artinya, manusia adalah kapitalis sejak ia dilahirkan, bukan? Ketika dahulu manusia gua mencari bahan makanan lebih banyak dengan cara berburu, para serigala Wall Street adalah para pemburu masa kini yang berburu cuan di lantai bursa.
Menurut artikel itu, benak manusia ibarat pisau Swiss Army: mampu memikirkan banyak solusi sesuai masalah yang sedang dihadapinya saat itu. Secara naluriah, manusia adalah makhluk sosial yang ingin menjangkau dunia luar dengan menghindari gerak-gerik pemicu prasangka.
Demikianlah idealnya.
Lantas apa yang membuat pemerintah Turki mengabaikan fakta tentang asal-usul Hagia Sophia, dan ogah mengembalikan fungsinya sebagai gereja Kristen Ortodoks (apalagi kuil pagan)?
Situasi Hagia Sophia dewasa ini, menurut saya, tidak menimbulkan rasa nyaman bagi kalangan komunitas Kristen Ortodoks, meskipun mereka tidak dilarang mengunjunginya.
Ketidaknyamanan itu timbul akibat perilaku kelompok di luar mereka dengan kondisi psikologis untuk menjalani kehidupan dalam komunitas kecil (mikrokosmos) yang mengalami gegar budaya (atau gegar religius dalam kasus di atas) saat berinteraksi dalam pergaulan berskala luas (makrokosmos).
Seandainya seluruh insan bersedia mengakui bahwa kebebasan individu tidaklah berarti apabila kebebasan orang lain terlanggar pada prosesnya, maka kapitalisme bisa menghindari terjadinya berbagai macam peristiwa sejenis dalam pergaulan internasional.
Hidup bersama dalam damai
Semua bangsa pada dasarnya mendambakan
hidup bersama dalam damai. Bahkan Uni Soviet (yang diteruskan oleh Federasi Rusia) dan RRC (China) punya pandangan mereka masing-masing tentang konsep ini.
Hidup bersama ala Nikita Khruschev adalah kebijakan luar negari Uni Soviet yang berlandaskan optimisme bahwa sosialisme akan unggul terhadap kapitalisme, sembari memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk kapitalis Amerika Serikat, demi mencegah terjadinya perang.
Khruschev mempromosikan ide ini untuk membatalkan kebijakan para pendahulunya, Vladimir Lenin dan Josef Stalin, yang dianggap memperburuk citra Uni Soviet akibat aneksasi beberapa wilayah yang sudah mereka lakukan.
Di sisi lain, RRC menegaskan komitmennya untuk hidup berdampingan dalam pergaulan internasional melalui Five Principles of Peaceful Coexistence pada Desember 1953, yang menjadi bagian dari isi perjanjian perdamaian antara RRC dan India pasca perang Sino-India di Tibet.
Mengikuti kehadiran pencetusnya, Zhou Enlai, perdana menteri RRC saat itu, Five Principles of Peaceful Coexistence juga menjadi patokan isi deklarasi Konferensi Asia-Afrika, Bandung 1955.
Isi Prinsip Hidup Damai ala RRC antara lain: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah (pemerintah bebas dari pengaruh luar), tidak melakukan agresi, kerja sama yang saling menguntungkan, kesetaraan, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Apabila kecerdasan manusia bisa membangun dan mengubah fungsi bangunan seperti Hagia Sophia demi memenuhi tujuannya, mengapa kompatibilitas yang sama tidak diterapkan untuk merenovasi gagasan peaceful coexistence versi sosialisme dan kebebasan kapitalisme guna membangun masa depan yang lebih baik?