Selasa, 19 Desember 2023

Refleksi 2023: Demokrasi dan Komunisme Sama-Sama Gagal

Tidak sedikit pihak yang menyesalkan "pemulihan" Hagia Sophia, bangunan bersejarah di Turki, dari museum menjadi masjid kembali pada 2020 lalu. UNESCO termasuk salah satu di antaranya. 

Sementara itu, sebuah situs berita di Indonesia cenderung menganggap fenomena ini "menarik" karena Presiden Turki Recep Erdogan mengizinkan masyarakat non-Muslim mengunjungi masjid Hagia Sophia karena sang pendiri, Kaisar Konstantin I, memerintahkan pembangunannya pada 360 Masehi sebagai gereja Kristen Ortodoks.   


Setelah Kekaisaran Bizantium kalah dalam perang melawan Dinasti Utsmaniyah Turki, Hagia Sophia diubah menjadi masjid di tahun 1453 yang ditandai dengan penambahan empat menara di tiap sudut bangunan ini.

Menurut para sejarawan, ketika Sultan Mehmed Fatih melangkah masuk ke Hagia Sophia yang saat itu berstatus sebagai gereja, ia merasa seakan-akan sepasang mata bayi Yesus pada mozaik di bangunan itu terus mengikuti langkahnya. 

Sebagai upaya mencari jalan tengah untuk kontroversi dalam sejarah bangunan yang namanya bermakna "Kebijaksanaan Suci" dalam Bahasa Yunani, founding father Turki Mustafa Kemal Attaturk, memutuskan mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum sejak 1934. 

Presiden Erdogan menganggap keputusan Attaturk tidak tepat karena melenceng dari sejarah dan telah melakukan perampasan hak milik Dinasti Umayyah. 

Sebagai catatan, Konstantin I, inisiator Hagia Sophia, memerintahkan pendirian gereja Hagia Sophia di atas pondasi sebuah kuil kaum penyembah berhala.

Kapitalisme memicu gegar religius

Artikel Capitalism and Human Nature dipublikasikan 2005 menyebut, pola pikir manusia pada dasarnya tidak berubah sejak zaman batu — cenderung mencari yang lebih banyak karena itulah makna hidup baginya. 

Artinya, manusia adalah kapitalis sejak ia dilahirkan, bukan? Ketika dahulu manusia gua mencari bahan makanan lebih banyak dengan cara berburu, para serigala Wall Street adalah para pemburu masa kini yang berburu cuan di lantai bursa. 

Menurut artikel itu, benak manusia ibarat pisau Swiss Army: mampu memikirkan banyak solusi sesuai masalah yang sedang dihadapinya saat itu. Secara naluriah, manusia adalah makhluk sosial yang ingin menjangkau dunia luar dengan menghindari gerak-gerik pemicu prasangka.

Demikianlah idealnya. 

Lantas apa yang membuat pemerintah Turki mengabaikan fakta tentang asal-usul Hagia Sophia, dan ogah mengembalikan fungsinya sebagai gereja Kristen Ortodoks (apalagi kuil pagan)?  

Situasi Hagia Sophia dewasa ini, menurut saya, tidak menimbulkan rasa nyaman bagi kalangan komunitas Kristen Ortodoks, meskipun mereka tidak dilarang mengunjunginya.

Ketidaknyamanan itu timbul akibat perilaku kelompok di luar mereka dengan kondisi psikologis untuk menjalani kehidupan dalam komunitas kecil (mikrokosmos) yang mengalami gegar budaya (atau gegar religius dalam kasus di atas) saat berinteraksi dalam pergaulan berskala luas (makrokosmos). 

Seandainya seluruh insan bersedia mengakui bahwa kebebasan individu tidaklah berarti apabila kebebasan orang lain terlanggar pada prosesnya, maka kapitalisme bisa menghindari terjadinya berbagai macam peristiwa sejenis dalam pergaulan internasional.

Hidup bersama dalam damai

Semua bangsa pada dasarnya mendambakan hidup bersama dalam damai. Bahkan Uni Soviet (yang diteruskan oleh Federasi Rusia) dan RRC (China) punya pandangan mereka masing-masing tentang konsep ini. 

Hidup bersama ala Nikita Khruschev adalah kebijakan luar negari Uni Soviet yang berlandaskan optimisme bahwa sosialisme akan unggul terhadap kapitalisme, sembari memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak, termasuk kapitalis Amerika Serikat, demi mencegah terjadinya perang. 

Khruschev mempromosikan ide ini untuk membatalkan kebijakan para pendahulunya, Vladimir Lenin dan Josef Stalin, yang dianggap memperburuk citra Uni Soviet akibat aneksasi beberapa wilayah yang sudah mereka lakukan. 

Di sisi lain, RRC menegaskan komitmennya untuk hidup berdampingan dalam pergaulan internasional melalui Five Principles of Peaceful Coexistence pada Desember 1953, yang menjadi bagian dari isi perjanjian perdamaian antara RRC dan India pasca perang Sino-India di Tibet. 

Mengikuti kehadiran pencetusnya, Zhou Enlai, perdana menteri RRC saat itu, Five Principles of Peaceful Coexistence juga menjadi patokan isi deklarasi Konferensi Asia-Afrika, Bandung 1955.  

Isi Prinsip Hidup Damai ala RRC antara lain: saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah (pemerintah bebas dari pengaruh luar), tidak melakukan agresi, kerja sama yang saling menguntungkan, kesetaraan, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.

Apabila kecerdasan manusia bisa membangun dan mengubah fungsi bangunan seperti Hagia Sophia demi memenuhi tujuannya, mengapa kompatibilitas yang sama tidak diterapkan untuk merenovasi gagasan peaceful coexistence versi sosialisme dan kebebasan kapitalisme guna membangun masa depan yang lebih baik?

Minggu, 03 Desember 2023

"Aku Bebas, Kau Bebas" — Mungkinkah Terwujud?

Ya, mungkinkah itu, atau sekadar utopia? Ketika sebuah kasus pelecehan terhadap sesajen merebak di Jawa Timur beberapa waktu lalu, kecaman keras datang dari banyak penjuru, termasuk kalangan internasional, mengingat tindakan itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 


Persembahan, atau sesajen, bukan hanya bagian tak terpisahkan dari agama Hindu tetapi juga kalangan para penganut "agama lama" dan kepercayaan terhadap Tuhan YME di berbagai penjuru dunia. 

Walaupun genre religi ini umumnya bertujuan membangun kesadaran manusia agar dapat hidup selaras dengan alam sekitarnya, tidak sedikit yang melabeli mereka sebagai kaum sesat, kafir, pemuja berhala, dll. karena berbagai faktor. 

Akan tetapi, tudingan negatif ini dapat dimaklumi lantaran para pencetusnya kalangan beberapa agama tertentu yang memandang sebuah fenomena religi menggunakan ukuran religiusitasnya masing-masing. 

Ada kalanya sesuatu yang benar di satu tempat dianggap salah di tempat lain; itulah kebhinekaan.

Memahami swatantra (liberty)

Kemenangan Javier Milei, seorang ekonom yang mendeklarasikan dirinya sebagai anarko kapitalis, sebagai presiden Argentina menghidupkan kembali diskursus mengenai libertarianisme yang diusungnya. 

Kritikan pedas datang dari segala arah mengiringi kemenangannya akibat rencana dolarisasi Milei dianggap bertentangan dengan arus multipolarisme yang sedang digencarkan beberapa negara, terutama China. 

Menurut Milei, otoritas kiri Argentina terlalu banyak membuang uang dan membatasi kebebasan masyarakat. Negara sebaiknya mengurangi peranan mereka dalam kehidupan bernegara, menyerahkan mekanisme pasar pada pihak swasta, dan memberikan ruang gerak lebih leluasa untuk warga negara untuk berusaha dan meningkatkan taraf hidup mereka. 

Perlu diingat bahwasanya libertarianisme yang berakar dari kata liberty (swatantra) punya perbedaan tipis dengan kebebasan (freedom). Ketika kebebasan cenderung memberi porsi lebih pada keleluasaan berkat berbagai faktor luar, swatantra merupakan pandangan dan sikap hidup seseorang yang terbentuk oleh kualitas moralnya. 

Dalam swatantra kita mempertimbangkan sejauh mana tindakan kebebasan kita tidak melanggar kebebasan orang lain demi terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, bukan hanya dalam hal materi tetapi juga kepuasan batin. 

Apabila menuntut kebebasan itu mudah, apakah menuntut kebebasan bagi pihak lain itu juga mudah untuk kita lakukan? Saya yakin pertanyaan ini sudah dijawab video di atas.

Berkat berbagai ajaran mengenai moralitas, manusia mampu membedakan antara mana yang benar dan mana yang salah, serta membuat batasan antara dua wilayah itu. Otoritas dan atau pemerintah adalah pihak yang mengawasi dan memberi tindakan manakala warga melanggar batasan itu.

Paham anarkisme cenderung menolak campur tangan otoritas yang berlebihan dalam kehidupan masyarakat bukan karena paham ini menghendaki chaos bekepanjangan. Sebaliknya, kaum anarkis bertujuan meringankan beban pekerjaan otoritas dengan menumbuhkan sikap swatantra yang bukan hanya tahu menuntut kebebasan. 

Setidaknya, begitulah teorinya. 

Kebebasan mahal harganya

Dunia dilanda konflik selama dua tahun berturut-turut adalah dampak langsung dari tiadanya kebebasan selama dua tahun sebelumnya selama pandemi COVID-19. Kebijakan kuncitara, jaga jarak, wajib vaksin menimbulkan kekecewaan yang kemudian dilampiaskan tanpa kendali setelah virus SARS-CoV-2 sirna. 

Di Eropa, kekecewaan itu rupanya masih mencengkeram erat dalam mindset sejumlah pemimpinnya, sebagaimana terlihat dalam pertemuan Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) pada 1 Desember 2023 di Macedonia Utara.  

Diundangnya Rusia ke pertemuan itu tadinya menerbitkan harapan bahwa perdamaian terkait konflik Ukraina sudah dekat. 

Apa mau dikata, beberapa negara kunci di forum itu masih belum mengubah sikap mereka terhadap Rusia. Bagi mereka, Rusia tetaplah terdakwa yang perlu dihukum seberat-beratnya tanpa diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan. 

Kecenderungan yang sama juga terlihat nyata di kancah konflik Palestina-Israel. Sorotan negatif pada Israel seolah tak dapat dihentikan media manapun, meski berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik adalah suatu keharusan. 

Berbagai peristiwa dalam dua tahun terakhir merupakan cerminan betapa mahalnya kebebasan. Semua manusia bergerak bebas mengejar impian masing-masing tetapi tidak mampu membebaskan diri dari belenggu idealisme tentang menjadi benar dalam benak dan batin mereka. 

Sekat-sekat antara pola pikir beragam kelas manusia terus dibangun tinggi demi menghindari tercemarnya nilai-nilai kebenaran yang dijunjung tinggi suatu golongan. Nampaknya, masa depan yang lebih baik masih impian belaka.

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...