Selasa, 15 Juni 2021

Jalan Terjal Sang Juara

Pandemi COVID-19 memaksa Komite Internasional Olimpiade (IOC) menunda penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang seharusnya diadakan 2020 lalu. Pemerintah Jepang sebagai tuan rumah terpaksa menerima pil pahit ini dan menerima kenyataan bahwa renovasi besar-besaran sejumlah stadion dan berbagai fasilitas olahraga lainnya belum akan balik modal dalam waktu dekat. Walaupun ada sejumlah orang yang meraup untung dari pembatasan sosial dan kuncitara, jumlah kerugian yang dialami bidang olahraga sangat besar karena larangan membuat kerumunan mengharuskan pertandingan diadakan tanpa penonton. Artinya, pihak penyelenggara event olahraga tidak akan memperoleh penghasilan dari penjualan tiket. Bagi para atlit, tidak ada kompetisi bukan hanya akan berdampak buruk bagi performa dan stamina. Semangat bertanding pun bisa luntur seiring berlalunya waktu, dan mengakhiri rasa dahaga akan kemenangan. Seperti bidang lain yang terpaksa menghadapi ujian berat di masa pandemi, para atlit harus menyelesaikan sebuah pertanyaan besar. Bagi para atlit, pertanyaan yang harus mereka jawab adalah apakah kehadiran penonton mereka butuhkan agar berhasil mencapai prestasi? 

Bagaimanapun, pencapaian prestasi bukan hak monopoli para atlit. Sama seperti hak asasi manusia, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk berusaha mencapai prestasi. Mereka berhak menempa diri sebaik mungkin, baik dengan mempelajari ilmu pengetahuan, mengembangkan bakat, melatih kekuatan fisik, dan meningkatkan keahlian yang dimiliki agar dapat meraih pengakuan atas apa yang sudah mereka lakukan dengan baik di bidangnya masing-masing. Keberhasilan mencapai prestasi bukan hanya menimbulkan rasa bangga, tetapi juga hadiah dalam bentuk materi (uang) yang tak sedikit jumlahnya. Prestasi akan mengukuhkan pengakuan masyarakat atas kemampuan seseorang, sekaligus meningkatkan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas.

Namun tidak ada yang abadi, demikian juga prestasi. Ada yang mengatakan mempertahankan lebih sulit daripada merebut, dan pepatah ini benar adanya. Sebuah tim olah raga akan berjuang mati-matian merebut sebuah gelar yang belum pernah dimenangkan, mengolah skill, mempelajari taktik lawan, mencoba berbagai strategi baru, dll. Di musim kompetisi berikutnya, sang jawara musim lalu harus menghadapi situasi yang lebih menantang karena para pesaing sudah mengetahui kemampuan mereka dan kehilangan gelar adalah sesuatu yang tidak membanggakan. Akan tetapi, tidak semua jawara memilih jalan logis dan pantas untuk mempertahankan gelar. Ada juga yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kebanggaan, walaupun cara tersebut jauh dari nilai dan prinsip sportivitas.

Balada Juara Bertahan 

Di artikel blog ini, dijabarkan tentang bagaimana Amerika Serikat memperoleh posisi mereka sebagai penguasa dunia finansial. Berbagai kisah dan sejarah yang kurang lebih sama juga memaparkan secara detil bagaimana sang negara adidaya berusaha mempertahankan posisinya. Masa pandemi COVID-19 rupanya sudah dianggap sebagai momen yang tepat untuk melestarikan dominasi tersebut. Pertama, AS di bawah pemerintahan Donald Trump secara terang-terangan menuduh bahwa virus COVID-19 adalah hasil rekayasa sebuah laboratorium senjata biologis di Wuhan, China. WHO pernah menyatakan bahwa tuduhan itu dibuat berdasarkan bukti-bukti yang keliru dan tidak berdasar karena virus Sars Cov-2 adalah murni hasil rekayasa alam. Namun AS mengabaikan laporan WHO dan bersikukuh dengan asumsinya. Penerus Trump, Joe Biden, belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri tuduhan ini meski dirinya sudah berikrar akan melakukan detrumpfikasi (penghapusan semua kebijakan yang dibuat di masa pemerintahan Trump). Sebaliknya, Biden memerintahkan para anak buahnya untuk melipatgandakan upaya guna membuktikan asal usul virus COVID-19. 

Kedua, Amerika Serikat juga secara terang-terangan merayu pemerintah Brasil agar tidak mengesahkan penggunaan vaksin COVID-19 buatan Rusia, Sputnik V, dengan alasan Amerika Serikat ingin meminimalisir pengaruh negara yang bukan sekutunya di benua Amerika. Padahal saat itu dan bahkan saat ini hingga waktu yang belum dapat ditentukan, rakyat Brasil dan semua penduduk dunia sangat membutuhkan vaksin dari pihak mana pun tidak memandang siapa produsen atau dari negara mana vaksin tersebut berasal. Bagi pemerintah Brasil, keselamatan rakyat dari COVID-19 lebih penting daripada membantu melestarikan hegemoni politik salah satu pihak. Seolah ada mimpi buruk dari masa lalu yang belum bisa dilupakan oleh Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ideologi suatu negara yang notabene adalah kompetitor. Namun perilaku yang menolak move on ini bukan sekonyong-konyong muncul tanpa sebab. Manusia adalah makhluk yang mudah ditebak, perilaku yang diperlihatkan saat ini adalah cerminan dari apa yang pernah dilakukannya sebelumnya.  

Amerika Serikat sangat beruntung memiliki Inggris sebagai sekutu. Hubungan simbiosis mutualisme mereka berdua ibarat sepasang kekasih yang mengalahkan batasan ruang dan waktu. Salah satu bentuk kesetiaan itu adalah pengusiran masyarakat Chagos yang tinggal di Pulau Diego Garcia Kepulauan Chagos, sebuah kelompok kepulauan karang dengan luas total 56,13 km persegi di Samudra Hindia. 

Diego Garcia pertama kali berpenghuni di abad ke-18 ketika sekelompok warga Afrika dari Kepulauan Mauritius didatangkan ke pulau itu sebagai pekerja perkebunan kelapa. Dengan berakhirnya masa perbudakan, masyarakat Chagos beroleh kemerdekaan mereka dan hidup tenang di kepulauan tropis itu bersama anak keturunan mereka. Namun ini tidak berlangsung lama, karena di tahun 1965 Inggris memutuskan wilayah itu termasuk wilayah koloni mereka. Di tahun 1967, 2000 orang warga Chagos diusir dari kampung halaman mereka oleh pemerintah Inggris. Pemerintah Inggris saat itu menganggap masyarakat Chagos bukanlah warga asli sehingga tidak berhak atas rumah dan tanah yang sudah mereka warisi dari nenek moyang selama berpuluh tahun. Ini hanyalah dalih karena tak lama kemudian Diego Garcia menjadi pangkalan militer Amerika Serikat di Samudra Hindia, di mana AS memberangkatkan pesawat-pesawat tempur pengebom Iraq dan Afghanistan. Kisah pilu yang diabadikan film dokumenter Stealing of a Nation ini nyaris tidak terdengar, walau sama tragisnya dengan pendudukan Jalur Gaza.   

Semua Bisa Jadi Pemenang

Sudah menjadi kodrat manusia untuk memiliki hasrat dalam berbagai bentuk dan tujuan, termasuk hasrat menjadi pemenang. Akan tetapi, podium terlalu sempit sehingga tidak semua orang dapat naik podium secara bersamaan. Manusia harus berkompetisi mengalahkan manusia lain yang juga ingin merasakan nikmatnya kemenangan, sehingga selalu ada pemenang dan juga pecundang. Di satu sisi, kekalahan bisa menjadi pengalaman berharga sebagai pengukur kemampuan diri dan memotivasi agar tidak lelah mencari jalan agar bisa jadi pemenang di lain hari. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, kemerdekaan setidaknya menjadi pelipur lara pengingat kita untuk memanfaatkan kemerdekaan itu seluas-luasnya agar bisa menjadi sesuatu yang kita inginkan. Atau mencapai sesuatu yang belum pernah kita capai, sesuatu yang lebih baik dan bermartabat tentunya.  

Memang, kemenangan bisa menjadi sebuah jebakan bagi sang juara untuk besar kepala dan mengabaikan rasa keadilan serta kemanusiaan asal dirinya bisa terus jadi pemenang. Ini karena tidak semua orang bisa memaknai secara positif suatu kekalahan sebagai kemenangan yang tertunda. Rasa sakit akibat jatuh terjerembab dari ketinggian tentunya lebih pedih dibandingkan sudah terbiasa kalah dan tidak pernah menang di berbagai kesempatan. Alih-alih siap menghadapi kenyataan, sang juara bertahan berusaha menghindari kekalahan atau kemungkinan akan kalah dengan membiarkan ego tidak terkontrol dan merusak diri sendiri. Sayangnya, golongan dengan karakter semacam ini sekarang sedang menguasai dunia (Amerika Serikat dan para sekutunya) seakan tak kehabisan akal menyingkirkan golongan lain yang berusaha menciptakan perbedaan (Rusia & China).

Haruskah bangsa-bangsa yang belum pernah jadi pemenang pasrah dengan keadaan dan mengubur dalam-dalam impian mereka menjadi bangsa pemenang untuk selamanya? Kebanggaan memang hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan disiplin, tetapi suatu negara juga bertanggung jawab menghasilkan sesuatu yang bisa membuat warga negaranya tidak minder di tengah pergaulan internasional. Sesuatu yang bukan sekedar bisa dinilai dengan uang dan habis dibelanjakan. (d.swastantika).    

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...