Pandemi COVID-19 memaksa Komite Internasional Olimpiade (IOC) menunda penyelenggaraan Olimpiade Tokyo yang seharusnya diadakan 2020 lalu. Pemerintah Jepang sebagai tuan rumah terpaksa menerima pil pahit ini dan menerima kenyataan bahwa renovasi besar-besaran sejumlah stadion dan berbagai fasilitas olahraga lainnya belum akan balik modal dalam waktu dekat. Walaupun ada sejumlah orang yang meraup untung dari pembatasan sosial dan kuncitara, jumlah kerugian yang dialami bidang olahraga sangat besar karena larangan membuat kerumunan mengharuskan pertandingan diadakan tanpa penonton. Artinya, pihak penyelenggara event olahraga tidak akan memperoleh penghasilan dari penjualan tiket. Bagi para atlit, tidak ada kompetisi bukan hanya akan berdampak buruk bagi performa dan stamina. Semangat bertanding pun bisa luntur seiring berlalunya waktu, dan mengakhiri rasa dahaga akan kemenangan. Seperti bidang lain yang terpaksa menghadapi ujian berat di masa pandemi, para atlit harus menyelesaikan sebuah pertanyaan besar. Bagi para atlit, pertanyaan yang harus mereka jawab adalah apakah kehadiran penonton mereka butuhkan agar berhasil mencapai prestasi?
Bagaimanapun, pencapaian prestasi bukan hak monopoli para atlit. Sama seperti hak asasi manusia, setiap manusia memiliki hak yang sama untuk berusaha mencapai prestasi. Mereka berhak menempa diri sebaik mungkin, baik dengan mempelajari ilmu pengetahuan, mengembangkan bakat, melatih kekuatan fisik, dan meningkatkan keahlian yang dimiliki agar dapat meraih pengakuan atas apa yang sudah mereka lakukan dengan baik di bidangnya masing-masing. Keberhasilan mencapai prestasi bukan hanya menimbulkan rasa bangga, tetapi juga hadiah dalam bentuk materi (uang) yang tak sedikit jumlahnya. Prestasi akan mengukuhkan pengakuan masyarakat atas kemampuan seseorang, sekaligus meningkatkan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat atau dalam lingkungan pergaulan yang lebih luas.
Namun tidak ada yang abadi, demikian juga prestasi. Ada yang mengatakan mempertahankan lebih sulit daripada merebut, dan pepatah ini benar adanya. Sebuah tim olah raga akan berjuang mati-matian merebut sebuah gelar yang belum pernah dimenangkan, mengolah skill, mempelajari taktik lawan, mencoba berbagai strategi baru, dll. Di musim kompetisi berikutnya, sang jawara musim lalu harus menghadapi situasi yang lebih menantang karena para pesaing sudah mengetahui kemampuan mereka dan kehilangan gelar adalah sesuatu yang tidak membanggakan. Akan tetapi, tidak semua jawara memilih jalan logis dan pantas untuk mempertahankan gelar. Ada juga yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kebanggaan, walaupun cara tersebut jauh dari nilai dan prinsip sportivitas.
Balada Juara Bertahan
Di artikel blog ini, dijabarkan tentang bagaimana
Amerika Serikat memperoleh posisi mereka sebagai penguasa dunia finansial.
Berbagai kisah dan sejarah yang kurang lebih sama juga memaparkan secara detil
bagaimana sang negara adidaya berusaha mempertahankan posisinya. Masa pandemi
COVID-19 rupanya sudah dianggap sebagai momen yang tepat untuk melestarikan
dominasi tersebut. Pertama, AS di bawah pemerintahan Donald Trump secara
terang-terangan menuduh bahwa virus COVID-19 adalah hasil rekayasa sebuah
laboratorium senjata biologis di Wuhan, China. WHO pernah menyatakan bahwa tuduhan itu dibuat berdasarkan bukti-bukti yang keliru dan tidak berdasar karena virus
Sars Cov-2 adalah murni hasil rekayasa alam. Namun AS mengabaikan laporan WHO dan bersikukuh dengan asumsinya. Penerus Trump, Joe Biden,
belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri tuduhan ini meski dirinya sudah
berikrar akan melakukan detrumpfikasi (penghapusan semua kebijakan yang dibuat
di masa pemerintahan Trump). Sebaliknya, Biden memerintahkan para anak buahnya
untuk melipatgandakan
upaya guna membuktikan asal usul virus COVID-19.
Kedua, Amerika Serikat juga secara terang-terangan merayu
pemerintah Brasil agar tidak mengesahkan penggunaan vaksin COVID-19 buatan
Rusia, Sputnik V, dengan alasan Amerika Serikat ingin meminimalisir pengaruh
negara yang bukan sekutunya di benua Amerika. Padahal saat itu dan bahkan saat
ini hingga waktu yang belum dapat ditentukan, rakyat Brasil dan semua penduduk
dunia sangat membutuhkan vaksin dari pihak mana pun tidak memandang siapa
produsen atau dari negara mana vaksin tersebut berasal. Bagi pemerintah Brasil,
keselamatan rakyat dari COVID-19 lebih penting daripada membantu melestarikan
hegemoni politik salah satu pihak. Seolah ada mimpi buruk dari masa lalu yang
belum bisa dilupakan oleh Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ideologi suatu
negara yang notabene adalah kompetitor. Namun perilaku yang menolak move on ini bukan sekonyong-konyong
muncul tanpa sebab. Manusia adalah makhluk yang mudah ditebak, perilaku yang
diperlihatkan saat ini adalah cerminan dari apa yang pernah dilakukannya sebelumnya.
Amerika Serikat sangat beruntung memiliki Inggris sebagai
sekutu. Hubungan simbiosis mutualisme mereka berdua ibarat sepasang kekasih
yang mengalahkan batasan ruang dan waktu. Salah satu bentuk kesetiaan itu
adalah pengusiran
masyarakat Chagos yang tinggal di Pulau Diego Garcia Kepulauan Chagos,
sebuah kelompok kepulauan karang dengan luas total 56,13 km persegi di Samudra
Hindia.
Diego Garcia pertama kali berpenghuni di abad ke-18 ketika sekelompok
warga Afrika dari Kepulauan Mauritius didatangkan ke pulau itu sebagai pekerja
perkebunan kelapa. Dengan berakhirnya masa perbudakan, masyarakat Chagos
beroleh kemerdekaan mereka dan hidup tenang di kepulauan tropis itu bersama
anak keturunan mereka. Namun ini tidak berlangsung lama, karena di tahun 1965
Inggris memutuskan wilayah itu termasuk wilayah koloni mereka. Di tahun 1967,
2000 orang warga Chagos diusir dari kampung halaman mereka oleh pemerintah
Inggris. Pemerintah Inggris saat itu menganggap masyarakat Chagos bukanlah
warga asli sehingga tidak berhak atas rumah dan tanah yang sudah mereka warisi
dari nenek moyang selama berpuluh tahun. Ini hanyalah dalih karena tak lama
kemudian Diego Garcia menjadi pangkalan militer Amerika Serikat di Samudra
Hindia, di mana AS memberangkatkan pesawat-pesawat tempur pengebom Iraq dan
Afghanistan. Kisah pilu yang diabadikan film dokumenter Stealing of a Nation ini nyaris tidak terdengar, walau sama
tragisnya dengan pendudukan Jalur Gaza.
Sudah menjadi kodrat manusia untuk memiliki hasrat dalam berbagai
bentuk dan tujuan, termasuk hasrat menjadi pemenang. Akan tetapi, podium
terlalu sempit sehingga tidak semua orang dapat naik podium secara bersamaan. Manusia
harus berkompetisi mengalahkan manusia lain yang juga ingin merasakan nikmatnya
kemenangan, sehingga selalu ada pemenang dan juga pecundang. Di satu sisi,
kekalahan bisa menjadi pengalaman berharga sebagai pengukur kemampuan diri dan
memotivasi agar tidak lelah mencari jalan agar bisa jadi pemenang di lain hari.
Di tengah situasi ekonomi yang sulit, kemerdekaan setidaknya menjadi pelipur
lara pengingat kita untuk memanfaatkan kemerdekaan itu seluas-luasnya agar bisa
menjadi sesuatu yang kita inginkan. Atau mencapai sesuatu yang belum pernah
kita capai, sesuatu yang lebih baik dan bermartabat tentunya.
Memang, kemenangan bisa menjadi sebuah jebakan bagi sang juara untuk besar kepala dan mengabaikan rasa keadilan serta kemanusiaan asal dirinya bisa terus jadi pemenang. Ini karena tidak semua orang bisa memaknai secara positif suatu kekalahan sebagai kemenangan yang tertunda. Rasa sakit akibat jatuh terjerembab dari ketinggian tentunya lebih pedih dibandingkan sudah terbiasa kalah dan tidak pernah menang di berbagai kesempatan. Alih-alih siap menghadapi kenyataan, sang juara bertahan berusaha menghindari kekalahan atau kemungkinan akan kalah dengan membiarkan ego tidak terkontrol dan merusak diri sendiri. Sayangnya, golongan dengan karakter semacam ini sekarang sedang menguasai dunia (Amerika Serikat dan para sekutunya) seakan tak kehabisan akal menyingkirkan golongan lain yang berusaha menciptakan perbedaan (Rusia & China).
Haruskah bangsa-bangsa yang belum pernah jadi pemenang pasrah
dengan keadaan dan mengubur dalam-dalam impian mereka menjadi bangsa pemenang
untuk selamanya? Kebanggaan memang hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan
disiplin, tetapi suatu negara juga bertanggung jawab menghasilkan sesuatu yang
bisa membuat warga negaranya tidak minder di tengah pergaulan internasional.
Sesuatu yang bukan sekedar bisa dinilai dengan uang dan habis dibelanjakan.
(d.swastantika).