Minggu, 30 September 2012

AKAL-AKALAN

MIMPI TERINDAH



         Belakangan ini tetangga saya mengeluh, bangun tidur tubuh bukannya segar malah tambah terasa pegal-pegal. Padahal, ia mengaku sudah berangkat ke peraduan sejak pukul 9 malam, dan baru bangun setelah pukul 6 pagi keesokan harinya, itu pun dengan bantuan omelan istri. Berangkat tidur lebih awal dan bangun paling lambat diakuinya sudah menjadi kegiatan favoritnya selama beberapa bulan terakhir. Kapan tepatnya, ia tidak yakin. Satu-satunya yang diyakininya adalah, ekonomi biaya akan semakin tinggi hingga batas waktu yang tidak ia ketahui, dan berharap dalam mimpinya akan ditemukan jawaban mengenai tanggal dan jam berakhirnya krisis beras di negeri ini.
        Perlukah kita bermimpi ? Mungkin Anda akan menjawab ‘ya’, karena selain sebuah aktifitas wajar pada otak, mimpi adalah sebuah hiburan murah. Cukup dengan membaringkan badan dan memejamkan mata, kita dapat merasakan sensasi suatu pengalaman baru, meski hanya maya. Ada beberapa mimpi yang dapat berulang setiap kali manusia berangkat ke alam tidur, tergantung kepada kondisi psikologis masing-masing. Beberapa lainnya sangat dan teramat indah, tidak dapat diulangi,  bahkan di dunia nyata sekalipun. 
           Namun, ada juga sebagian orang yang mengalami kesulitan untuk dapat dan merasakan adanya mimpi, tak peduli seberapa empuk dan nyaman kasur, atau berapa botol dan butir pil tidur yang ditenggaknya. Lantas, kaum jenis ini pun berpikir pragmatis, mungkin mereka harus mengeluarkan sejumlah rupiah untuk dapat meyakini kehadiran mimpi dalam kehidupan mereka.
                       
Mimpi Terindah
Walaupun tiap individu mempunyai definisi sendiri-sendiri, saya  99,99% yakin bahwa hidup layak tanpa kekurangan merupakan salah satu impian terindah setiap umat manusia di muka Bumi. Memang sih, hal itu merupakan salah satu hak pokok manusia yang paling asasi. Namun, apa daya, jauh panggang dari api. Jangankan untuk hidup layak, sekedar dapat bernafas kembali pada esok haripun sudah lebih dari cukup.
Maka jangan heran, ketika manusia mendadak berubah menjadi monster pemakan segala diskon, demi memperoleh barang-barang berkilau untuk dikenakan atau dipamerkan di Hari Raya yang baru saja lewat. Rela mempertaruhkan nyawa dengan menjadi pencuri jemuran, pencopet, preman parkiran, demi menyenangkan anak istri. Sementara, sebagian kecil lainnya mengakhiri hidup dengan cara sendiri, akibat putus asa tidak berdaya untuk larut dalam keriaan duniawi tersebut.
Demi mencapai prestasi sebagai negara yang tidak gagal, data statistik mengenai pertumbuhan ekonomi yang positif di Indonesia  pun digembar-gemborkan. Di saat perekonomian Eropa terpuruk dan hanya mampu tumbuh di bawah 1% pada tahun ini, Indonesia boleh berbangga hati karena mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Tak kurang dari Fitch Rating dan Moody’s memberikan status investment grade kepada negara tercinta, terkait persepsi positif Indonesia di mata investor (Media Indonesia, Kamis 16/8/2012). 
Angka-angka itu memang menyatakan adanya peningkatan pertumbuhan yang tak lain dan tak bukan, berasal dari peningkatan konsumsi masyarakat akibat perubahan harga sejumlah barang kebutuhan pokok.  Jadi bukan karena Negara berhasil melakukan pemerataan keadilan ekonomi, mengangkat taraf hidup kaum tak berpunya, ataupun berhasil memotivasi mereka (dan, terutama,  dirinya sendiri) untuk memperbaiki nasib saat ini.

Bangun dari Mimpi
      Ketika saya memutuskan pada pukul berapa saya tidur, pada saat bersamaan (seharusnya) saya juga sudah memutuskan pada pukul berapakah saya akan bangun. Akan tetapi, semalam lalu adalah malam yang berat, saya habis kerja lembur, terjebak macet harian, dan saya hanyalah manusia biasa yang mendambakan tidur senyaman-nyamannya. Mungkin saja setanlah yang akan bangun jika Anda membangunkan saya tanpa permisi. Emangnya mau situ diterkam setan ?
            Meski demikian, mau tidak mau, bersedia atau tidak bersedia, siap atau tidak siap, saya, Anda dan kita semua harus segera bangun dari tidur, untuk kemudian dapat bergerak dan beraktifitas, kalau tidak ingin dianggap almarhum karena memilih untuk diam dalam tidur dan menyambung mimpi selama mungkin. Toh Anda tidak membutuhkan seorang motivator pun untuk berkata di depan hidung Anda, bahwa langkah pertama untuk segera melepaskan diri dari jeratan mimpi adalah bangkit, membuka mata selebar mungkin, segera mandi, dan jangan tidur lagi.
         Ya memang ada sih sebagian kecil golongan yang merasa tidak siap menghadapi transisi dari dunia mimpi ke dunia nyata, dari jaman sepur lempung ke jaman komuter listrik, dari masa kini ke masa lalu, dan melepasliarkan kegagapannya hingga melukai diri kita, orang lain serta dirinya sendiri. Musti dendamkah kita kepadanya ? Jangan. Yang sebaiknya kita lakukan adalah mengasihani dan memaafkan dirinya, yang merepresentasikan salah satu jenis spesies penderita ketakutan akut terhadap sesuatu yang gaib, sesuatu yang belum tentu, sahih dan pasti terjadi.
           
Sebagian dari kita mungkin telah mati rasa, dan menganggap ketidakpastian dalam hidup belakangan ini merupakan sesuatu yang biasa, sesuatu takdir yang tidak mungkin bisa kita ubah. Apakah mungkin karena terjerembab dalam keputusasaan itulah yang kemudian membuat sebagian dari diri kita memutuskan untuk berhenti berharap, dan membangun istana impian dengan bantuan narkoba, tikus, tuyul, maupun dukun pengganda uang ?  Sebenarnya manakah yang kenyataan, hidup menderita ataukah berfoya-foya ? Sebentar, sebentar … saya juga ragu nih, sebenarnya saya sekarang lagi bermimpi atau enggak ya ?
(swastantika)                

Ketika Self-Respect Sirna Ditelan Pragmatisme

Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. ...