Menarik janji dan pendirian seolah menjadi tren, dan para pelakunya pun tak lagi khawatir akan konsekuensi perilaku menyimpang semacam ini. Menarik ucapan, atau bahkan menyangkal ucapannya sendiri kian menjadi kelaziman, seakan-akan ini satu-satunya cara praktis mencapai tujuan.
Sampai sekitar dua atau tiga tahun lalu, peradaban modern
masih bisa membanggakan diri prinsip, nilai-nilai, kehormatan, harga diri,
reputasi ... segala hal yang kita banggakan dan jaga baik-baik demi membentuk
citra diri yang sesuai harapan dan norma-norma masyarakat. Kini tidak lagi.
Menolak uang mudah adalah salah satu bentuk self-respect. |
Politik “jual diri”
Katakanlah kita pebisnis yang ingin sukses di bidang kita,
langkah pertama kita adalah melakukan riset tentang kebutuhan khalayak, lalu
menciptakan produk yang sesuai. Selanjutnya kita menciptakan merek, nama,
identitas, dan nilai produk yang sejalan dengan apa yang berlaku di masyarakat.
Mengingat khalayak adalah konsumen kita, pemasar yang baik
tidak akan mengabaikan mereka dalam setiap langkahnya. Guna merebut hati calon
konsumen, sebuah merek sebaiknya membangun komunikasi pemasaran yang persuasive
dan kepedulian mendalam pada mereka.
Sikap kita menyikapi persaingan yang semakin ketat juga
merupakan cerminan dari seberapa tingginya kepercayaan diri sebuah merek.
Mengikuti tren memang bisa meningkatkan nilai jual sebuah
merek dalam jangka pendek dan dalam waktu singkat. Namun, terlalu sering
berubah sesuai tren menunjukkan ketidakpercayaan diri merek terhadap citra diri
yang sudah dibangunnya sejak awal.
Dan, bagaimana kita akan sukses meyakinkan orang lain kalau
kita tidak yakin dengan diri sendiri?
Politik “jual diri” atau pencitraan banyak diterapkan para
pemimpin dan tokoh dari berbagai belahan dunia sebagai cara menumbuhkan rasa
hormat publik, yang selanjutnya (diharapkan) diikuti dengan kepatuhan
masyarakat pada mereka.
Masyarakat pun juga dapat menerimanya, sepanjang para
pemimpin dan tokoh tersebut menunjukkan tindak-tanduk sesuai citra diri yang
mereka presentasikan. Jangankan patuh, rasa hormat rakyat jelata pada
pemimpinnya akan hilang bila sang pemimpin tidak mampu menghormati dirinya
sendiri.
Sedihnya, pemimpin dan tokoh semacam ini tidak sedikit
jumlahnya.
Self-respect vs
profit
Menurut pakar kesehatan mental, menghormati diri sendiri (self-respect) penting guna mendukung
ketahanan psikis seseorang menghadapi tantangan, membangun kebahagiaan, meraih
sukses tanpa rasa kehilangan harga diri.
Self-respect
adalah satu hal yang menjaga kita dari tergoda melibatkan diri dalam segala
sesuatu yang pada akhirnya kita sesali di belakang hari. Dialah penjaga
keamanan tak terlihat yang selalu bersama kita hingga hembusan nafas terakhir.
Namun, sering kali orang mengabaikan self-respect demi keuntungan materi dalam jangka pendek tanpa bijak
mempertimbangkan dampaknya di belakang hari.
Seorang aktivis pergerakan yang mendadak berubah sikap
setelah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seorang tokoh oposisi yang
bertahun-tahun getol anti pemerintah mendadak menjilat ludahnya sendiri .. Saya
yakin Anda bisa membayangkan siapa mereka.
Dampak pandangan jangka pendek
Bekerja keras mencari uang adalah hak tiap manusia, siapa
pun tak bisa menghakimi seseorang tentang cara yang ia tempuh untuk memenuhi
kebutuhan. Kecuali bila ia melanggar hukum dan peraturan yang berlaku, tentu
saja.
Akan tetapi, inflasi, sempitnya lapangan kerja, jatuhnya
nilai tukar mata uang nasional, adalah beberapa di antara faktor ekonomi yang
mendorong seorang individu condong pada cara termudah memperoleh penghasilan.
Ngapain jalan kaki kalo bisa naik motor ke tujuan, bukan begitu?
Adalah naif jika saya meyakinkan Anda tidak ada dampak dari
menanggalkan prinsip demi keuntungan materi, meski di sisi lain saya dan Anda
sama-sama tahu kita berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga (bila sudah
berkeluarga). Pun, tidak ada undang-undang yang melarang kita untuk
menanggalkan prinsip lama dan beralih ke prinsip baru yang lebih praktis dan menguntungkan.
Apakah ukuran “asal tidak salah” sudah cukup untuk menjamin
langkah ke depan yang tanpa masalah? Apakah tiadanya masalah sudah cukup sebagai
pernyataan bahwa proses yang kita tempuh sudah benar menurut nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran budi, norma-norma sosial?
Saya tidak yakin pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul dalam benak siapa pun yang mengutamakan keuntungan jangka pendek.