Seperti apa sih
wajah kita waktu sedang mengatakan “maaf”? Sebuah cermin mungkin
akan mengatakan semuanya. Tapi pasti aneh bukan kalau kita bilang
“maaf” sambil bercermin? Lawan bicara Anda mungkin akan menjauh
pergi, bukan karena tidak mau memaafkan. Ia mungkin khawatir akan
ketularan “penyakit” Anda.
Merasakan
penyesalan, pada awalnya memang tidak mengenakkan. Pada suatu kondisi
ketika penyesalan adalah sesuatu yang tidak bisa tidak kita katakan,
manusia dihadapkan pada dua pilihan tentang bagaimana ia merespon
desakan mengungkapkan penyesalan. Mengungkapkan penyesalan bersamaan
dengan meruntuhkan gengsi-gengsi yang memagari, inilah pilihan
pertama. Sedangkan pilihan kedua adalah menggunakan penyesalan
sebagai lipstik. Penyesalan diungkapkan dalam kata-kata tanpa
membiarkan kesadaran diri untuk menerimanya. Kedua pilihan ini
kelihatannya sama-sama buruk. Pilihan pertama akan menimbulkan
tamparan di muka seseorang. Tamparan yang begitu menyakitkan dan
terngiang sepanjang hidupnya, mengingatkan agar jangan sampai
kesalahan yang mengakibatkan penyesalan kembali terulang. Pilihan
kedua malah lebih parah lagi, karena seseorang memaksa dirinya untuk
melakukan sesuatu yang sesungguhnya bertentangan dengan kehendak
bebasnya, yaitu tidak ingin menyesali perbuatannya. Persamaan kedua
pilihan ini adalah, baik pilihan pertama maupun pilihan kedua
sama-sama tak bisa menghapus kenyataan bahwa kesalahan atau sesuatu
yang membuat seseorang merasa menyesal memang pernah terjadi. Bahkan
sebuah pakaian yang pernah dicuci bersih pun tak dapat memungkiri
kenyataan bahwa kotoran pernah menempel kepadanya.
Sebagaimana pernah
dikatakan oleh Friedrich Engels, “Alle mit Naturnotwendigkeit
eintretenden Ereignissse tragen ihren Trost in sich, sie mogen noch
so furchtbar sein”, atau “ Semua hal di alam yang mendapatkan
penghiburan di dalam hal itu sendiri, mungkin adalah hal yang paling
tak terperi.” Sesuatu peristiwa telah menjadi sebuah patahan dalam
jiwa yang begitu pahit, sehingga diputuskan untuk tak akan diakui,
baik dengan cara menyesalinya atau menuliskannya dalam buku sejarah
kehidupan pribadi maupun publik. Siapa tak akan merasa pahit paska
sebuah peristiwa besar yang merenggut nyawa banyak manusia?
Peperangan besar di dunia seperti Perang Salib dan Perang Dunia
dikenal semua umat berbagai kalangan dan jaman. Pernah nggak sih kita
membayangkan siapa sesungguhnya pihak yang meraih semua kegemerlapan
segera setelah perang dinyatakan berakhir? Nama-nama mereka memang
bisa dilihat di buku sejarah. Tetapi apakah mereka para pemenang
merasa puas dan semua masalahnya teratasi dengan kemenangan itu?
Sulit untuk dijawab karena pihak X dan Y sama-sama menderita kerugian
besar. Pihak X yang tercatat sebagai pemenang bahkan tak punya waktu
untuk merayakan kemenangannya, lantaran sibuk memutar otak bagaimana
cara ia melunasi semua pinjaman yang dipakai sebagai biaya untuk
berperang. Sementara pihak Y yang menderita kekalahan harus
menanggung stigma sebagai golongan musuh yang durjana dan wajib
dimusuhi sampai selamanya.
The root of all
“disorder” (Bibit semua penyakit)
Manusia memang
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi di sekitarnya.
Namun tingkat kecepatan untuk beradaptasi tidak sama. Penyebabnya,
kesadaran manusia dibentuk oleh lingkungan sekitar di mana individu
itu lahir, tinggal, dan dibesarkan. Sedangkan kondisi alam tidak sama
antara belahan Bumi satu dan lainnya. Oleh karena itu, ada beragam
reaksi yang ditampilkan sekelompok orang setelah mereka melalui
sebuah peristiwa besar. Dalam Bahasa Inggris, reaksi itu disebut
dengan “aftermath”, di mana “after” adalah sesudah dan “math”
adalah matematika. Tidak seperti bahasa dan bidang ilmu sosial,
matematika adalah ilmu yang paling jujur. Angka tidak bisa berbohong,
tidak bisa dibengkokkan atau ditafsirkan dengan cara berbeda dari
sudut pandang berbeda. Apa jadinya dunia ini bila suatu hari 2 + 2 =
5? Dalam Matematika, hasil suatu tindakan (persamaan) itu pasti dan
bisa diketahui apa saja yang menyebabkan hasil tsb mengemuka. Ketika
urutan angka dalam suatu operasi penjumlahan atau pengurangan diubah,
hasilnya tetap sama. Yang bisa berbeda-beda adalah sumber, asal
muasal, atau dari mana datangnya angka 2, 3, 13, 666, dan seterusnya.
Meski sejarah telah mencatat sejuta pristiwa berbeda dari berbagai
belahan dunia, beberapa di antara peristiwa besar itu ternyata
hasilnya sama, yaitu penyesalan. Faktor situasi, kondisi, dan
dinamika lingkungan sekitar pembentuk kesadaran inilah yang
mengakibatkan adanya perbedaan reaksi dan cara sekelompok manusia
dalam merespon penyesalan.
Air yang mengalir di
sungai tak pernah sama, alirannya menggerus tepian sungai sedikit
demi sedikit tanpa ada yang menyadarinya. Namun alih fungsi hutan
menjadi hunian juga berdampak pada sungai. Debit airnya berkurang,
sehingga luas permukaan sungai semakin menyempit. Demikian juga wajah
dunia dan suatu negara dibentuk oleh serangkaian peristiwa yang telah
dialaminya dan oleh caranya bereaksi menanggapi peristiwa-peristiwa
yang sejenis. Misalnya, sebuah negara mengalami krisis ekonomi,
inflasi melonjak tinggi, pengangguran ada di mana-mana, sektor
industri macet, hutang negara semakin bertumpuk. Sepertinya cepat
atau lambat negara itu akan jatuh bangkrut. Ini bukan sebuah
peristiwa baru dalam sejarah negara itu. Setelah menimbang satu dan
lain hal, negara tsb akhirnya menerapkan proteksionisme dengan
harapan dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak barang-barang
atau badan usaha dari luar negeri yang berbisnis di negara tsb, bila
diasumsikan bahwa menaikkan tarif pajak yang harus dibayar warga
negaranya akan mengundang risiko impeachment alias menggoyang tampuk
kekuasaan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan itu, karena
reaksi umum makhluk hidup mana pun yang merasa dirinya berada dalam
bahaya adalah berupaya sebisanya untuk melindungi dirinya sendiri
(protek/ to protect = melindungi). Asal muasal sikap itu pun bisa
ditelusuri berdasarkan (lagi-lagi) catatan sejarah, dalam hal ini
selain tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Saya yakin, semua
dasar fundamental di negara manapun tidak ada yang mengimbau warganya
untuk tidak menerima adanya perbedaan. Semua menekankan pentingnya
mengedepankan kesetaraan hak dan kewajiban tanpa memandang perbedaan,
apakah itu perbedaan jenis kelamin, ras, suku, dan agama. Pada
kenyataannya, perbedaan muncul bukan hanya pada masalah fisik atau
keyakinan pribadi individu saja. Ada juga yang namanya perbedaan
prinsip, baik prinsip ekonomi maupun prinsip politik. Apa boleh buat,
ternyata teori menanggapi perbedaan lebih mudah daripada prakteknya.
Bila individu atau kelompok masyarakat yang seumur hidupnya berada
dalam lingkungan di mana ia atau mereka tak pernah menemukan adanya
perbedaan, maka reaksi pertamanya terhadap perbedaan adalah defensif
karena mekanisme otak mendefinisikan perbedaan itu sebagai sebuah
ancaman. Salah satu bentuk manifestasi sikap defensif ini adalah
dengan memproteksi diri. Sikap ini kemudian diwariskan secara turun
temurun agar generasi selanjutnya untuk menanamkan cara pandang yang
sama terhadap perbedaan. Media bolehlah menyanjung generasi milleneal
dan adik-adiknya setinggi langit sebagai “generasi baru yang lebih
baik”. Tapi, sekali lagi, kesadaran manusia dibentuk oleh kondisi
yang melingkupinya. Sekarang waktu yang akan membuktikan apakah
generasi penerus akan melestarikan dogma para pendahulunya, atau move
on dan membuat cara pandang yang baru.
Apapun opsi yang
dipilih, baik generasi muda, tua, setengah tua, atau yang belum lahir
sekalipun sebaiknya mempertimbangkan bahwa penyesalan yang tak
terungkapkan juga bisa menjadi bahan bakar bagi reaksi defensif
terhadap perbedaan. Lama setelah berlangsungnya peristiwa penyebab
penyesalan, seseorang atau sebuah kelompok mencoba menelaah kembali
berbagai fakta yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Ketika ditemukan bahwa sebuah pembedalah yang menjadi pokok
permasalahan, maka tindakan preventif sudah bisa ditebak. Tindakan
itu adalah membabat habis faktor pembeda bahkan sejak ia masih berupa
bibit. Ini adalah sebuah tindakan pragmatis yang memang bisa mengunci
si pembeda di liang lahatnya. Namun tindakan tersebut belum mampu
mengungkap satu pertanyaan besar, yaitu mengapa ada perbedaan,
mengapa kita tak bisa sama? Kita harus menggerakkan diri sendiri
untuk mencari penyebabnya. Tanpa menceburkan diri dalam kolam, kita
tak akan bisa melihat dasarnya. Sama seperti cara kita merespon
perbedaan. Tetap ada peluang bahwa setelah menyelam di dasar kolam,
kita baru akan tahu bahwa ternyata di situ tidak ada buayanya. Saya
bisa mengerti bila ternyata banyak dari kita yang tidak bisa
berenang. Masalahnya sekarang adalah, maukah Anda belajar berenang
untuk bisa melihat kecantikan ikan-ikan yang hidup di dalamnya?
(swastantika).